Sabtu, 01 November 2014

Apa Kata al Qur'an Tentang Tuhan? (Sebuah Ulasan Teosofis)

PENDAHULUAN
Permasalahan Tuhan adalah masalah yang tidak pernah habisnya digali, ditulis dan difikirkan. Penggalian masalah ketuhanan secara sistematis telah diungkapkan sejak filsuf awal berteori tentang asal-usul alam semesta. Setelah sempat reda manakala peradaban Yunani tenggelam, kemudian masalah ini bangkit kembali memanas ketika pergolakan aqidah Islam di tandai dengan bermunculannya sekte-sekte Islam. Kemudian muncullah istilah teologi dan berbagai istilah yang berkaitan dengan pembahasan ketuhanan lainnya. Setelah perdebatan tentang Tuhan dalam Islam mulai reda seiring dengan kemunduran ummat Islam dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Muncul Barat sebagai basis peradaban intelectual baru, dengan para filsuf yang memiliki pandangan yang bahkan jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya. Berbeda dari filsuf Yunani terdahulu dan filsuf Islam klasik. Wacana ketuhanan ini muncul sangat beragam, bahkan Nietzsche yang dikenal sebagai sang pembunuh Tuhan dengan ajaran kontroversialnya “Tuhan telah mati”[1] dan itulah issue ketuhanan yang paling moderat yang pernah ada. Dan sampai hari ini masalah ketuhanan masih terus digali dalam berbagai bentuk. Meskipun begitu. Issue ketuhanan sepertinya masih hangat dan tak pernah padam dari waktu ke waktu. Hal ini dibuktikan dengan bermunculan issue-issue dengan beberapa bentuk ekspresi yang berbeda dan cukup menyita perhatian ummat.
Apa yang pernah dikatakan oleh Nietzsche yang hidup pada awal abad ke-19 lalu kemudian muncul kembali bahkan di Indonesia sendiri, dan yang lebih ironinya lagi, issue ini justru didengung-dengungkan dikalangan kampus Islam sendiri. Seperti kasus di UIN fakultas ushuluddin Surabaya yang baru-baru ini. Ini adalah masalah pertama bagaimana hangatnya pembahasan ketuhanan jika dikaji secara historis. Kemudian belum lagi bagaimana konsep ketuhanan dari masing-masing Agama yang tentunya berbeda antara satu Agama dengan Agama lainnya. Seperti Kristen yang memiliki konsep trinitas, Hindu dengan konsep trimurti, Islam denga  konsep monoteisme/tauhid dan berbagai konsep ketuhanan lainnya pada keyakinan yang berbeda. Hal ini tentu menjadikan bahan kajian ketuhanan bertambah kaya dan tak penah habis dalam bahasan, tulisan dan terfikirkan.
Terakhir, hal yang cukup menarik lainnya adalah munculnya term pluralism Agama. Sebuah konsep satu Tuhan banyak agama. Konsep transenden Tuhan. Konsep-konsep ini bermunculnya seiring dengan memanasnya issue dari nafas para teolog terdahulu, para filsuf dan para sufi dalam islam. Diantara yang paling dikenal adalah konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arobi dan konsep wahdat al adyaan dari para sufi termasyhur seperti Jalaluddin Al Rumi, Ibnu ‘Arobi dan Al Jilli. Term pluralism Agama mencuat kembali dengan dirumuskannya teori-teori term pluralism Agama dari ungkapan-ungkapan tokoh-tokoh besar Islam tadi, bahkan ada juga yang mengklaim term pluralism Agama 100 lahir dari rahim peradaban Barat. Menurut penulis teori-teori dan landasan mereka bukanlah hal yang sederhana, melainkan sebuah pemikiran yang luar biasa pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan toleransi dan kemajuan pemikiran Manusia. Dimana seluruh Manusia sama-sama berjalan menuju Tuhan. Entah dari golongan mana dan dari wadah (Agama) apa. Sama memiliki jalan dan cara kepadaNya. Yang berbeda hanyalah bentuk ekspresi dan kebebasan ekspresi adalah mutlak diberikan kepada manusia.
Makalah ini akan menekankan pembahasannya pada aspek eksistensi Tuhan. Dia sebagai penguasa yang tidak dapat difahami zatNya. Dia sebagai eksistensi non materi dan Dia sebagai Yang Maha di Atas segalanya. Makalah ini berdasarkan penjelasan teosofi.

Batasan masalah
2.1  Pengertian Tuhan secara etimologi dan terminologi
2.2  Ayat-ayat al Qur’an tentang Tuhan (Sebuah Ulasan Teosofis)
2.3  Menjelaskan konsep Tuhan secara ontology dan epistemologi

PEMBAHASAN
1.      Pengertian Allah
1.1  Asal kata Allah secara etimologi
“Kata Allāh (الله) berasal dari gabungan dari kata al- (sang) dan ʾilāh (Tuhan) sehingga berarti Sang Tuhan.  Tetapi teori ini menyalahi kaidah bahasa arab. Bentuk ma'rifat dari ilah adalah al-ilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab. Al-ilah adalah sebagai bentuk ma'rifat dari ilah. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu al-alihah). Tetapi hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak. Dengan demikian kata al-ilah dan Allah adalah dua kata yang berlainan. Teori lain mengatakan kata ini berasal dari kata bahasa Aram Alāhā. Cendekiawan Muslim kadang-kadang menerjemahkan Allah menjadi God dalam bahasa Inggris. Namun, sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah tidak untuk diterjemahkan, dengan berargumen bahwa kata tersebut khusus dan agung sehingga mesti dijaga, tidak memiliki bentuk jamak dan gender (berbeda dengan God yang memiliki bentuk jamak Gods dan bentuk feminin Goddess dalam bahasa inggris). Isu ini menjadi penting dalam upaya penerjemahan Al-Qur'an[2].
1.2  Pengertian Allah secara terminologi
Adapun pengertian Tuhan secara istilah adalah kami (kelompok satu) tidak menyetujui dengan adanya definisi dalam hal ini (secara husus). Sebagaimana Suhrawardi Al-Maqtul menggugah definisi secara universal. Tetapi disini kami ingin mendeskripsikan Tuhan menurut Islam, atau lebih tepatnya Tuhan menurut al Qur’an. Dialah zat yang Maha Tinggi, Maha Esa, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa. Serta segala maha yang terdapat dalam asma’ al husna yang 99. Sebenarnya nama-nama indah Tuhan bukanlah hanya 99. Tetapi jauh lebih banyak dari itu. Tetapi ulama hanya merumuskan 99 nama yang diambil dari ayat al-Qur’an. Dalam The Holy Veda, Tuhan memiliki 1000 nama. Dan nama-nama tersebut juga menggambarkan sifat dari Tuhan sebagaimana dalam Islam. Bahkan sifat-sifat yang disebut tersebut persis seperti sifat Tuhan dalam al Qur’an yang mengawalinya dengan kata Maha.
2.      Firman Tuhan tentang diriNya :
2.1  Surat thoha ayat 5 (lima)
الرحمن على العرش استوى
Tuhan bersemayam di ‘arsy. Tuhan menguasai ‘arsy menurut tafsiran Sunni dan Tuhan duduk di singgasana menurut tafsiran Salafi. Disini terlihat jelas mana golongan yang menelan mentah-mentah dzohir ayat dan yang lainnya menakwilkannya. Tetapi mereka sepakat bahwa Tuhan itu adalah Maha Kuasa, sebab terlepas dari apakah Dia berjisim ataupun tidak, ayat ini tetap menunjukkan kekuasaan Tuhan yang dilambangkan dengan singgasana (kursi). Disinilah titik persamaanya. Perlu diperhatikan bahwa dalam masalah ayat-ayat mutasyabihat, mayoritas ulama’ Sunni melarang banyak membahasnya.
2.2  Surat al fath ayat 1 (satu)
يد الله فوق ايديهم
Kekuasaan Tuhan di atas kekuasaan mereka menurut tafsiran Sunni, dan tangan Tuhan berada di atas tangan mereka menurut tafsiran Salafi. Ayat ini serupa dengan ayat diatas. Menunjukkan kemaha kuasaan Tuhan.
2.3  Surat asy-syuura ayat 11 (sebelas)
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dalam ayat ini. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan.
2.1  Tidak ada suatupun yang menyerupaiNya.
Disini berarti Tuhan tidak memiliki kualitas[3]; yang terdiri dari ukuran, berat, warna dan bentuk. Tepatnya Tuhan bukanlah materi. Tuhan adalah immaterial dan tidak dapat difahami manusia,  sebab material tidak dapat memahami immaterial. “Wujud niscaya (Tuhan) tidak tunduk kepada katagori[4] apapun, karena dalam setiap katagori terdapat particular yang bersifat mungkin. Dan hal itu akan berujung pada kesimpulan bahwa kemungkinan merupakan predikat sang genus (Tuhan)”[5]. Logika sederhanya jika seorang tidak dapat membedakan antara materi tanpa kualitas dengan substansi kosong, maka bagaimana mungkin ia dapat memahami Tuhan yang mutlak immaterial. Sang pencipta ruh yang halus. Jadi sangat tidak relevan lagi pertanyaan, terbuat dari apakah Tuhan itu?
2.2  Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat
Dia yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat dan mahluk tidak dapat mendengar juga tidak dapat melihat. Mata manusia hanyalah terdiri dari unsure-unsur material, terdiri dari unsur air dan kita tau air tidak dapat melihat. Jadi material tidak dapat berfungsi mengaitkan diri secara mandiri kepada material lainnya, apalagi dapat melihat Tuhan. Jadi mata anda tidak dapat melihat sebagaimana tanah dan air tidak dapat melihat. Kita harus membedakan secara jelas antara mata dan penglihatan. Jadi hakikatnya manusia punya mata tetapi tidak punya penglihatan.
Lalu siapakah yang melihat? Itulah Ruh Suci, Ruh Sucu Tuhan. Ruh Tuhan sendiri. Jadi yang melihat adalah Tuhan sendiri. Masalah ini mirip dengan permasalahan gerak yang tidak di memiliki tubuh secara esensial, maka rentetan gerak di semesta ini membutuhkan penggerak yang tidak digerakkan. Di dalam tubuh manusia itulah Ruh Suci Tuhan. Lalu apakah pernyataan ini tidak menimbulkan konsekwensi bahwa air, tanah, api, dan udara itu berarti punya ruh karena bergerak?
Jawaban pertama; Zeno seorang filsuf Yunani klasik yang hidup 490-446 SM mengatakan ”gerak itu tidak mungkin. Ia mengilustrasikannya dengan anak panah setelah dilesatkan dari busur, anak panah tidak bergerak, tapi diam. Loh kok bisa ? Karena pada tiap-tiap saat anak panah itu berada pada tempat tertentu yang persis sama dengan panjangnya. Ia selalu berada pada kedua ujungnya karena ia senantiasa dalam keadaan diam. Beriktnya, ia berada pada jarak lebih jauh, tapi di situ ia juga tidak bergerak, melainkan diam. Jadi gerak semu anak panah itu tak lain adalah satu episode atau serial peristirahatan, satu persinggahan”[6].
Jawaban kedua; adalah jawaban Islamis, dimana alam digerakkan oleh sang penggerak, yaitu Tuhan, jadi tetap tidak memiliki ruh.  Adapun Maha Mendengar adalah sama penjelasannya dengan sifat melihat.
Jawaban ketiga, sebagai jawaban penguat. Adalah Mansur al-Hallaj seorang filsuf sejati versi Suhrawardi Al-Maqtul, mengarttikan surat al baqarah ayat 34 ketika Tuhan memerintahkan malaikat bersujud kepada Adam karena Tuhan telah mengambil tempat dalam diri Adam dengan keberadaan Roh Suci Tuhan[7]. Disini cukup jelas bahwa Tuhan turun dalam bentuk ruh dan menjadi penggerak manusia dalam bentuk ruh suciNya. Maksud dari paparan jawaban ketiga ini adalah bahwa manusia tidak dapat melihat, mendengar dan bergerak. Tetapi yang memiliki kuasa atas ketiga tindakan tersebut adalah Tuhan sendiri. Dan essencenya bukan milik tubuh itu scara mandiri. Dialah yang maha melihat dan menjadikan manusia melihat dengan penglihatanNya, Dialah yang maha mendengar dan menjadikan manusia mendengar dengan pendengaranNya dan Dialah sang penggerak tak tergerakkan. Dia tidak bergerak dan tidak pula diam, ini tidak dapat difahami sebab dia tidak dapat dikonsepsiakn manusia.
2.3  Surat Al-'An'am ayat 103
لاتدر كه الآبصر وهويدرك الآبصر وهو اللطيف الخبير
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
3.1  Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata
Materi tidak dapat melihat non meteri. Bahkan materi tidak dapat melihat materi, sebab materi tidak dapat melihat. Memiliki mata bukan berarti memiliki penglihatan atau dapat melihat.  Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa yang melihat hakikatnya adalah Tuhan, melalui ruh suciNya. Lalu bagaimana dengan kasus para sufi yang katanya dapat melihat Tuhan dengan penglihatan mata bathin? Hirarki para sufi seperti Ibnu ‘Arobi, Al-Hallaj dan Hamzah Pansaury di Indonesia adalah telah mencapai derajat Insane. Jadi disini Tuhan telah melihat diriNya sendiri.
3.2  Maha Mengetahui
Muncul sebuah pemikiran penuh kontroversial dari kalangan para filsuf di abad keemasan Islam. Seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan pilosof paripatetis lainnya. Dimana dalam bidang pemikiran-pemikiran, mereka mengemukakan beberapa hal tentang siaft Tuhan yang menurut Al-Gozali tidak sesuai dengan prinsip dasar konsep tauhid Islam. Salah satunya adalah bahwa Tuhan hanya mengetahui yang juz’iyat dan tidak mengetahui secara kulliyat atau universal seluruh entitas dari alam semesta. Pengetahuan Tuhan terhadap universalitas alam semesta menurut mereka persis seperti pengetahuan Presiden yang mengetahui kondisi rakyatnya secara general, tetapi tidak untuk universalnya. Misalnya SBY mengetahui rakyat indonesia rata-rata hidup dibawah garis kemiskinan, tetapi SBY tidak mengetahui nama masing-masing seluruh rakyatnya yang miskin tersebut. Tetapi kemudian argumentasi para filsuf Islam klasik ini dibantah kemudian oleh Mulla Sadra dan menjelaskan secara rinci bagaimana Tuhan mengetahui universalitas entitas alam semesta secara rasio. Dengan bantahan yang tidak pernah ada sebelumnya. Sehingga pertanyaan “bagaimana cara Tuhan mengetahui?” kini dapat terjawab.
Mulla Shadra seorang filsuf Persia Islam mengungkapkan bahwa pengetahuan Tuhan tentang segala sesuatu mempunyai hierarkinya sendiri. “Yang pertama, tingkat pemeliharaan (inayah), yaitu pengetahuan-Nya tentang sesuatu pada tingkat essensi-Nya sendiri. Tingkat kedua, adalah tingkat ketetapan global (al Qadla al Ijmali) yang diinterpretasikan sebagai pena (al Qalam) yang mempunyai kekuasaan penuh atas semua bentuk yang berada di bawahnya. Tingkat ketiga, adalah lembaran (al Lauh), yang juga disebut ketetapan terpilah-pilah (al Qadla al Tafshili). Hubungan tingkat ketiga ini dengan bentuk-bentuk di dunia ini adalah prinsip-prinsip bagi cerminan. Tingkat keempat, adalah ketentuan melalui pengetahuan (al Qadar al Ilmi) yang terdiri dari dunia imajinal dan dunia bentuk-bentuk menggantung. Tingkat kelima, adalah ketentuan melalui objektifikasi (al Qadar al Aini) yang terdiri atas bentuk-bentuk yang ada dalam dunia fisik. Mulla Shadra menganggap tingkat terakhir ini berada di bawah tingkat pengetahuan Illahi langsung karena menandai percampuran antara bentuk-bentuk dan materi”[8].
2.4  Surat al-ikhlas ayat 4 (empat)
ولم يكن له كفوا احد
Tidak ada suatupun yang sebanding denganNya. Tiada mahluk kecuali bermula dan berakhir. Tiada mahluk kecuali dibatasi oleh selain dirinya, realitas eksternalnya. Batas terang adalah gelap dan gelap dibatasi terang. Kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan orang lain dan begitulan seterusnya. Empat criteria ketuhanan versi Solahuddin Sekarnawadi kiranya cukuplah mewakili sifat Tuhan yang 20 versi Sunni dan yang 99 versi Salafi. Pertama, as shabiq artinya terdahulu. Kedua, al ithlaq artinya tidak terbatas dan tidak ada yang membatasiNya. Ketiga, as sarmadiyah artinya tidak memiliki ujung atau akhir tetapi Dia kekal abadi dan tidak bersandar pada ruang dan waktu. Dan yang kelima, adz zatiyah artinya berdiri sendiri[9]. Adanya keriteria ketuhanan memungkinkan manusia berjuang untuk mencapai hirarki disisiNya atau melebur dengan Tuhan sendiri. Tetapi bukan untuk menjadi Tuhan. Ingat bahwa sifat terbaik manusia adalah bersifat dengan sifat ketuhanan. Tetapi bukan pada sifat-sifat yang khusus untuk Tuhan sendiri.
3.      Konsep Tuhan secara ontology
Tuhan secara ontology adalah Tuhan secara hakikat. Tuhan yang transenden pada diriNya dan dari mahlukNya. Dia tanpa atribut, tanpa kualitas, seperti sifat dan nama. Dia tidak lagi bersandar pada apapun selain diriNya (zat). Sehingga Tuhan secara ontologi mustahil secara mutlak untuk dikenal mahluk.  Dia tidak dapat dikonsepsikan. Dia hanya mengenal diriNya sendiri. Ibnu ‘Arobi menuyebut sebuah hadis qudsi sebagai landasan sebuah konsep. Dan dalil ini dapat menjadi acuan bagaimana Tuhan sebelum kebijakanNya mencipatakan alam, Dia hanya dikenal diriNya sendiri. Aku adalah harta simpanan tersembunyi, karena itu aku rindu untuk dikenal.Maka aku ciptakan mahluk, sehingga melalui-Ku mereka mengenali-Ku”[10].

Seorang teosofi Islam klasik, Suhrawardi Al Maqtul menyebut Tuhan dengan Cahaya diatas Cahaya (Nurul Anwal), bersifat immaterial dan tidak bisa didefinisikan[11]. Tidak dapat dikonsepsikan apalagi difahami. Dia diluar jangkauan akal sehat manusia. MahlukNya sama sekali tidak dapat melihat Tuhan secara mutlak. Karena mahluk dengan Tuhan mutlaq tidak sederajat. Satu-satunya wujud yang eksistensinya mendahului waktu dan gerak adalah Tuhan[12]. Dalam teori ketuhanan para filsuf Islam, Tuhan keluar dari 4 dimensi; ruang, waktu, daya dan guna. Ini adalah sebuah tanda ketidak terbatasanNya. Tuhan secara ontology inilah Tuhan yang transenden, inilah Tuhan tujuan semua Agama. Tuhan tempat bertemunya seluruh keyakinan manusia, dalam perjalanan menuju Tuhan secara esoteris. Ada sebuah diagram piramida sebagai symbol kesatuhan titik akhir keyakinan tersebut: (gambar tak dapat ditampilkan)
Seorang dari latar belakang kepercayaan apapun yang memanggil Tuhan, atau berdo’a “wahai zat yang maha tinggi, wahai pencipta langit dan bumi”. Disini berarti ia sedang memanggil Tuhan secara ontologi. Tuhan yang tepat yaitu pencipta langit dan bumi yang tidak dapat dikenal seperti yang disebutkan hadis qudsi di atas.  Konsep piramida kepercayaan ini atau konsep Tuhan secara esoteris atau ontologis, keluar dari Tuhan secara epistemologi atau Tuhan secara syari’at. Seperti keadaan yang dipaparkan masing-masing Agama (eksoteris). (Untuk lebih jelasnya uraian tentang konsep esoteris dan eksoteris ini, pembaca dapat membaca uraian penulis tentang “konsep wahdat al adyaan” di  "http://hfzsulaiman.blogspot.com/2014/10/konsep-wahdat-al-adyaan.html".
4.      Konsep Tuhan secara epistemology
Tuhan secara epistemology adalah Tuhan yang dapat dikonsepsikan, yang dapat diberi atribut-atribut ketuhanan seperti sifat dan nama. Ada tempat dimana konsep Tuhan epistemology bersandar. Seperti firmannya dalam hadis qudsi di atas, dimana Dia ingin dikenal, dikonsepsikan bahkan difikirkan. Jadi disini Tuhan menyesuaikan diriNya agar dapat dikenal. Untuk lebih memberikan gambaran lebih jelasnya, berikut paparan dari Prof Dr. Mulyadi Kertanegara melalui via facebook.

Judul : Kontroversi seputar ungkapan Tuhan telah membusuk.
Nietsche: Tuhan telah mati, (God is Dead.) Bagi kita yang masih waras dan percaya pada Tuhan, mana mungkin Tuhan sejati kita akan mati atau bahkan membusuk. Yang lain boleh mati dan membusuk, tapi Dia sang Pencipta alam semesta tidak boleh mati. Tapi kalau kita tilik lebih dalam lagi, barangkali Tuhan yang dimaksud di sini adalah Tuhan sebagai konsep. Saya pernah membedakan antara Tuhan ontologis dan epistemologis. Secara ontologis, kata ini merujuk pada Tuhan yang sebenarnya, Tuhan pencipta alam dan manusia. Ini adalah Tuhan yang abadi, yang tidak akan pernah mati apa lagi membusuk. Tapi Tuhan secara epistemologis adalah Tuhan dalam bentuk konsep, yakni Tuhan yang kita konsepsikan. Nah Tuhan inilah yang bisa mengalami perubahan dan beragam, yang boleh benar dan boleh keliru. Tuhan yang seperti inilah yang bisa hidup dan bisa mati, bisa terus subur ataupun layu, yang bisa segar terus atau bisa juga membusuk. Tuhan yang seperti inilah yang dikatakan oleh Nietsche telah mati dalam diri dan kehidupannya. Ketika kita tidak lagi merasakan kehadiran Tuhan dalam hati kita, ketika kita tak lagi peduli akan perintah dan larangan-Nya, ketika itulah kita bisa mengatakan bahwa Tuhan telah mati dari hati dan hidup kita. Tapi Tuhan yang sejati, Tuhan ontologis tak akan pernah mati, layu ataupun membusuk[13].
 
PENUTUP
1.      Kesimpulan
ويسألونك عن الروح- قل الرح من أمر ربي  ومااوتيتم من العلم الا قليلا
Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS Al Isra : 85). Disini manusia tidak memiliki pengetahuan melainkan apa yang telah diajarkan Tuhan kepada mereka. Bahkan manusia tidak mungkin memiliki pengetahuan sendiri, yang bersumber dari dirinya sendiri. Lalu pengetahuan yang dimiliki manusia itu adalah apa? Itu adalah pengetahuan milik Tuhan. Pengetahuna pemberian Tuhan. Bahkan ketika manusia mengkaji dari alam realita dan buku-buku karya manusia, tetapi ingat bahwa Tuhan mnegajarkan manusia, menjadikan manusia penter, cerdas melalui perantaraan kalam, dan bukankah kalam telah menulis segala sesuatu atas perintah Tuhan? Yang berarti seluruhnya yang telah maupun yang belum diketahui manusia tercakup dalam pengetahuan Tuhan. juga dalam mushaf atau lembararan-lembaran. Dimana telah dikatakan oleh Mulla Sadra sebagai pengetahuan yang berada dibawah kendaliNya. Juga yang termasuk dalam bentuk imajinasi dan realita material atau ayat-ayat Tuhan yang lebih dikenal dengan sebutan fenomena alam.
2.      Saran
Jangan pernah mencukupkan diri dengan apa yang telah ada. Jika anda melakukannya niscaya kefakiran pengetahuan telah mendekati anda. Dan kami sebagai penyusun makalah tidak mengharapkan kesamaan pendapat dengan anda, tetapi selalu berharap anda kontras. Bahkan kalau bisa, hancurkan kami dengan argumentasi canggih anda. Bombardir kami dengan nuklir pemikiran anda. Wallahu taala ‘a’lam.



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche
[3] Istilah filsafat
[4] Golongan, jenis, tingkat
[5] Makalah filsafat Islam paca Ibnu Rusyd, ulasan pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul
[6] Mencangkul di Yuanani, Dr. Dzofir Zohir, direktur STF Al-Farabi Malang
[8] Filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd, pemikiran teosofi Mulla Sadra
[9] Ceramah Solahuddin Sukarnawadi di abror MDQH NW Pancor
[10] Media zainul bahri, Satu tuhan banyak agama (Jakarta: penerbit al-mizan, 2011)
[11] Suhrawardi tidak menyetujui definisi secara universal. Misalnya kuda adalah hewan yang meringkik, meringkik? Ada banyak hewan yang meringkik tetapi ia bukan kuda. Definisi ini pasti tidak menjadikan orang yang tidak pernah melihat kuda tidak faham. Jikapun ada definisi maka mesti ada rentetan kata yang lagi harus didefinisikan sampai tidak habis-habisnya. Sehingga definisi itu tidak mungkin.
[12] Filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd, pemikiran teosofi Mulla Sadra
[13] Prof Dr. Mulyadi Kertanegara, dosen STFI Sadra. (“grup kuliah filsafat dan tasawuf” via fb)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://www.caraseoblogger.com/2013/11/cara-menambahkan-animasi-burung-twitter.html#ixzz3GY9CTcvx