PENDAHULUAN
Permasalahan
Tuhan adalah masalah yang tidak pernah habisnya digali, ditulis dan difikirkan.
Penggalian masalah ketuhanan secara sistematis telah diungkapkan sejak filsuf
awal berteori tentang asal-usul alam semesta. Setelah sempat reda manakala
peradaban Yunani tenggelam, kemudian masalah ini bangkit kembali memanas ketika
pergolakan aqidah Islam di tandai dengan bermunculannya sekte-sekte Islam. Kemudian muncullah istilah
teologi dan berbagai istilah yang berkaitan dengan pembahasan ketuhanan lainnya. Setelah perdebatan
tentang Tuhan dalam Islam mulai reda seiring
dengan kemunduran ummat Islam dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan. Muncul Barat sebagai basis peradaban intelectual baru,
dengan para filsuf yang memiliki pandangan yang bahkan jauh berbeda dari
sebelum-sebelumnya. Berbeda dari filsuf Yunani terdahulu dan filsuf Islam
klasik. Wacana ketuhanan ini muncul sangat beragam, bahkan Nietzsche yang
dikenal sebagai sang pembunuh Tuhan dengan ajaran
kontroversialnya “Tuhan telah mati”[1] dan itulah
issue ketuhanan yang paling moderat yang pernah ada. Dan sampai hari ini
masalah ketuhanan masih terus digali dalam berbagai bentuk. Meskipun begitu.
Issue ketuhanan sepertinya masih hangat dan tak pernah padam dari waktu ke waktu. Hal ini
dibuktikan dengan bermunculan issue-issue dengan beberapa bentuk ekspresi yang
berbeda dan cukup menyita perhatian ummat.
Apa yang
pernah dikatakan oleh Nietzsche yang hidup pada awal abad ke-19 lalu kemudian
muncul kembali bahkan di Indonesia sendiri, dan yang lebih ironinya lagi, issue
ini justru didengung-dengungkan dikalangan kampus Islam sendiri. Seperti kasus
di UIN fakultas ushuluddin Surabaya yang baru-baru ini. Ini adalah masalah
pertama bagaimana hangatnya pembahasan ketuhanan jika dikaji secara historis.
Kemudian belum lagi bagaimana konsep ketuhanan dari masing-masing Agama yang
tentunya berbeda antara satu Agama dengan Agama lainnya. Seperti Kristen yang
memiliki konsep trinitas, Hindu dengan konsep trimurti, Islam denga konsep monoteisme/tauhid dan berbagai konsep
ketuhanan lainnya pada keyakinan yang berbeda. Hal ini tentu menjadikan
bahan kajian ketuhanan bertambah kaya dan tak penah
habis dalam bahasan, tulisan dan terfikirkan.
Terakhir,
hal yang cukup menarik lainnya adalah munculnya term pluralism Agama. Sebuah
konsep satu Tuhan banyak agama. Konsep transenden Tuhan. Konsep-konsep ini
bermunculnya seiring dengan memanasnya issue dari nafas para teolog terdahulu,
para filsuf dan para sufi dalam islam. Diantara yang paling dikenal adalah
konsep wahdatul wujud Ibnu ‘Arobi dan konsep wahdat al adyaan dari para sufi
termasyhur seperti Jalaluddin Al Rumi, Ibnu ‘Arobi dan Al Jilli. Term pluralism
Agama mencuat kembali dengan dirumuskannya teori-teori term pluralism Agama
dari ungkapan-ungkapan tokoh-tokoh besar Islam tadi, bahkan ada juga yang
mengklaim term pluralism Agama 100 lahir dari rahim peradaban Barat. Menurut
penulis teori-teori dan landasan mereka bukanlah hal yang sederhana, melainkan
sebuah pemikiran yang luar biasa pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan
toleransi dan kemajuan pemikiran Manusia. Dimana seluruh Manusia sama-sama
berjalan menuju Tuhan. Entah dari golongan mana dan dari wadah (Agama) apa.
Sama memiliki jalan dan cara kepadaNya. Yang berbeda hanyalah bentuk ekspresi
dan kebebasan ekspresi adalah mutlak diberikan kepada manusia.
Makalah ini
akan menekankan pembahasannya pada aspek eksistensi Tuhan. Dia sebagai penguasa yang tidak
dapat difahami zatNya. Dia sebagai eksistensi non materi dan Dia sebagai Yang
Maha di Atas segalanya. Makalah ini berdasarkan
penjelasan teosofi.
Batasan masalah
2.1 Pengertian
Tuhan secara etimologi dan terminologi
2.2 Ayat-ayat al Qur’an
tentang Tuhan (Sebuah Ulasan Teosofis)
2.3 Menjelaskan konsep Tuhan secara
ontology dan epistemologi
PEMBAHASAN
1. Pengertian Allah
1.1 Asal kata Allah secara etimologi
“Kata Allāh (الله) berasal dari gabungan dari kata al- (sang) dan ʾilāh (Tuhan)
sehingga berarti Sang Tuhan. Tetapi
teori ini menyalahi kaidah bahasa arab. Bentuk ma'rifat dari ilah adalah
al-ilah, bukan Allah. Dengan demikian kata al-ilah dikenal dalam bahasa Arab. Al-ilah
adalah sebagai bentuk ma'rifat dari ilah. Sedangkan kata ilah mempunyai bentuk
ma'rifat baik mutsanna (yaitu al-ilahani atau al-ilahaini) maupun jamak (yaitu
al-alihah). Tetapi hal ini tidak berlaku untuk kata Allah, kata ini tidak
mempunyai bentuk ma'rifat mutsanna dan jamak. Dengan demikian kata al-ilah dan
Allah adalah dua kata yang berlainan. Teori lain
mengatakan kata ini berasal dari kata bahasa Aram Alāhā. Cendekiawan
Muslim kadang-kadang menerjemahkan Allah menjadi God dalam
bahasa
Inggris. Namun, sebagian yang lain mengatakan bahwa Allah
tidak untuk diterjemahkan, dengan berargumen bahwa kata tersebut khusus dan
agung sehingga mesti dijaga, tidak memiliki bentuk jamak dan gender (berbeda
dengan God yang memiliki bentuk jamak Gods dan bentuk feminin Goddess dalam
bahasa inggris). Isu ini menjadi penting dalam upaya penerjemahan Al-Qur'an[2]”.
1.2
Pengertian Allah secara
terminologi
Adapun pengertian Tuhan secara istilah adalah kami (kelompok satu) tidak
menyetujui dengan adanya definisi dalam hal ini (secara husus). Sebagaimana
Suhrawardi Al-Maqtul menggugah definisi secara universal. Tetapi disini kami
ingin mendeskripsikan Tuhan menurut Islam, atau lebih tepatnya Tuhan menurut al
Qur’an. Dialah zat yang Maha Tinggi, Maha Esa, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.
Serta segala maha yang terdapat dalam asma’ al husna yang 99. Sebenarnya
nama-nama indah Tuhan bukanlah hanya 99. Tetapi jauh lebih banyak dari itu.
Tetapi ulama hanya merumuskan 99 nama yang diambil dari ayat al-Qur’an. Dalam The Holy Veda, Tuhan
memiliki 1000 nama. Dan nama-nama tersebut juga menggambarkan sifat dari Tuhan sebagaimana
dalam Islam. Bahkan sifat-sifat yang disebut tersebut persis seperti sifat Tuhan
dalam al Qur’an yang
mengawalinya dengan kata Maha.
2.
Firman Tuhan tentang diriNya :
2.1 Surat thoha ayat 5 (lima)
الرحمن على العرش استوى
Tuhan bersemayam di ‘arsy. Tuhan menguasai ‘arsy menurut tafsiran Sunni dan
Tuhan duduk di singgasana menurut tafsiran Salafi. Disini terlihat jelas mana
golongan yang menelan mentah-mentah dzohir ayat dan yang lainnya
menakwilkannya. Tetapi mereka sepakat bahwa Tuhan itu adalah Maha Kuasa, sebab terlepas
dari apakah Dia berjisim ataupun tidak, ayat ini tetap menunjukkan kekuasaan
Tuhan yang dilambangkan dengan singgasana (kursi). Disinilah titik persamaanya.
Perlu diperhatikan bahwa dalam masalah ayat-ayat mutasyabihat,
mayoritas ulama’ Sunni melarang banyak membahasnya.
2.2 Surat al fath ayat 1 (satu)
يد الله فوق ايديهم
Kekuasaan Tuhan di atas kekuasaan mereka menurut tafsiran Sunni, dan tangan Tuhan berada di atas
tangan mereka menurut tafsiran Salafi. Ayat ini serupa dengan ayat diatas.
Menunjukkan kemaha kuasaan Tuhan.
2.3 Surat asy-syuura ayat 11 (sebelas)
ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Dalam ayat ini.
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan.
2.1 Tidak ada
suatupun yang menyerupaiNya.
Disini berarti Tuhan tidak
memiliki kualitas[3]; yang
terdiri dari ukuran, berat, warna dan bentuk. Tepatnya Tuhan bukanlah materi.
Tuhan adalah immaterial dan tidak dapat difahami manusia, sebab material tidak dapat memahami
immaterial. “Wujud niscaya (Tuhan) tidak tunduk kepada katagori[4]
apapun, karena dalam setiap katagori terdapat particular yang bersifat mungkin.
Dan hal itu akan berujung pada kesimpulan bahwa kemungkinan merupakan predikat
sang genus (Tuhan)”[5]. Logika
sederhanya jika seorang tidak dapat membedakan antara materi tanpa kualitas
dengan substansi kosong, maka bagaimana mungkin ia dapat memahami Tuhan yang
mutlak immaterial. Sang pencipta ruh yang halus. Jadi sangat tidak relevan lagi
pertanyaan, terbuat dari apakah Tuhan itu?
2.2 Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat
Dia yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat dan mahluk tidak dapat mendengar juga tidak dapat melihat. Mata manusia
hanyalah terdiri dari unsure-unsur material, terdiri dari unsur air
dan kita tau air tidak dapat melihat. Jadi material tidak dapat
berfungsi mengaitkan diri secara mandiri kepada material lainnya, apalagi dapat
melihat Tuhan. Jadi mata anda tidak dapat melihat sebagaimana tanah dan air
tidak dapat melihat. Kita harus membedakan secara jelas antara mata dan
penglihatan. Jadi hakikatnya manusia punya mata tetapi tidak punya penglihatan.
Lalu siapakah yang melihat? Itulah
Ruh Suci, Ruh Sucu Tuhan. Ruh Tuhan sendiri. Jadi yang melihat adalah Tuhan sendiri.
Masalah ini mirip dengan permasalahan gerak yang tidak di memiliki tubuh secara
esensial, maka rentetan gerak di semesta ini membutuhkan penggerak yang tidak
digerakkan. Di dalam tubuh manusia itulah Ruh Suci Tuhan. Lalu apakah
pernyataan ini tidak menimbulkan konsekwensi bahwa air, tanah, api, dan udara itu berarti punya ruh karena
bergerak?
Jawaban pertama; Zeno seorang
filsuf Yunani klasik yang hidup 490-446 SM mengatakan ”gerak itu tidak mungkin.
Ia mengilustrasikannya dengan anak panah setelah dilesatkan dari busur, anak
panah tidak bergerak, tapi diam. Loh kok bisa ? Karena pada tiap-tiap saat anak
panah itu berada pada tempat tertentu yang persis sama dengan panjangnya. Ia
selalu berada pada kedua ujungnya karena ia senantiasa dalam keadaan diam.
Beriktnya, ia berada pada jarak lebih jauh, tapi di situ ia juga tidak
bergerak, melainkan diam. Jadi gerak semu anak panah itu tak lain adalah satu
episode atau serial peristirahatan, satu persinggahan”[6].
Jawaban kedua;
adalah jawaban Islamis, dimana alam digerakkan oleh sang penggerak, yaitu
Tuhan, jadi tetap tidak memiliki ruh.
Adapun Maha Mendengar adalah sama penjelasannya dengan sifat melihat.
Jawaban ketiga, sebagai jawaban penguat. Adalah
Mansur al-Hallaj seorang filsuf sejati versi Suhrawardi Al-Maqtul,
mengarttikan surat al baqarah ayat 34 ketika Tuhan memerintahkan malaikat
bersujud kepada Adam karena “Tuhan telah mengambil
tempat dalam diri Adam dengan keberadaan Roh Suci Tuhan”[7]. Disini cukup jelas
bahwa Tuhan turun dalam bentuk ruh dan menjadi penggerak manusia dalam bentuk
ruh suciNya. Maksud dari paparan jawaban ketiga ini adalah
bahwa manusia tidak dapat melihat, mendengar dan bergerak. Tetapi yang memiliki
kuasa atas ketiga tindakan tersebut adalah Tuhan sendiri. Dan essencenya bukan
milik tubuh itu scara mandiri. Dialah yang maha melihat dan menjadikan manusia
melihat dengan penglihatanNya, Dialah yang maha mendengar dan menjadikan
manusia mendengar dengan pendengaranNya dan Dialah sang penggerak tak
tergerakkan. Dia tidak bergerak dan tidak pula diam, ini tidak dapat difahami sebab
dia tidak dapat dikonsepsiakn manusia.
لاتدر كه
الآبصر وهويدرك الآبصر وهو اللطيف الخبير
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi
Maha Mengetahui.
3.1 Dia tidak
dapat dicapai oleh penglihatan mata
Materi tidak dapat
melihat non meteri. Bahkan materi tidak dapat melihat materi, sebab materi
tidak dapat melihat. Memiliki mata bukan berarti memiliki penglihatan atau
dapat melihat. Sebagaimana yang telah diuraikan
diatas bahwa yang melihat hakikatnya adalah Tuhan, melalui ruh suciNya. Lalu bagaimana dengan kasus para
sufi yang katanya dapat melihat Tuhan dengan penglihatan mata bathin? Hirarki
para sufi seperti Ibnu ‘Arobi, Al-Hallaj dan Hamzah Pansaury di Indonesia
adalah telah mencapai derajat Insane. Jadi disini Tuhan telah melihat diriNya
sendiri.
3.2 Maha
Mengetahui
Muncul sebuah pemikiran
penuh kontroversial dari kalangan para filsuf di abad keemasan Islam. Seperti Ibnu
Sina, Ibnu Rusyd dan pilosof paripatetis lainnya. Dimana dalam bidang pemikiran-pemikiran,
mereka mengemukakan beberapa hal tentang siaft Tuhan yang menurut Al-Gozali tidak
sesuai dengan prinsip dasar konsep tauhid Islam. Salah satunya adalah bahwa Tuhan
hanya mengetahui yang juz’iyat dan tidak
mengetahui secara kulliyat atau universal seluruh entitas dari alam semesta.
Pengetahuan Tuhan terhadap universalitas alam semesta menurut mereka persis seperti pengetahuan Presiden yang
mengetahui kondisi rakyatnya secara general, tetapi tidak untuk universalnya. Misalnya
SBY mengetahui rakyat indonesia rata-rata hidup dibawah garis kemiskinan,
tetapi SBY tidak mengetahui nama masing-masing seluruh rakyatnya yang miskin
tersebut. Tetapi kemudian argumentasi para filsuf Islam klasik ini dibantah
kemudian oleh Mulla Sadra dan menjelaskan secara rinci bagaimana Tuhan mengetahui
universalitas entitas alam semesta secara rasio. Dengan bantahan yang tidak
pernah ada sebelumnya. Sehingga pertanyaan “bagaimana cara Tuhan mengetahui?” kini dapat
terjawab.
Mulla Shadra seorang
filsuf Persia Islam mengungkapkan bahwa pengetahuan Tuhan tentang segala
sesuatu mempunyai hierarkinya sendiri. “Yang pertama, tingkat
pemeliharaan (inayah), yaitu pengetahuan-Nya tentang sesuatu pada tingkat
essensi-Nya sendiri. Tingkat kedua, adalah tingkat
ketetapan global (al Qadla al Ijmali) yang diinterpretasikan sebagai pena (al
Qalam) yang mempunyai kekuasaan penuh atas semua bentuk yang berada di
bawahnya. Tingkat ketiga, adalah lembaran (al Lauh), yang
juga disebut ketetapan terpilah-pilah (al Qadla al Tafshili). Hubungan tingkat
ketiga ini dengan bentuk-bentuk di dunia ini adalah prinsip-prinsip bagi
cerminan. Tingkat keempat, adalah
ketentuan melalui pengetahuan (al Qadar al Ilmi) yang terdiri dari dunia
imajinal dan dunia bentuk-bentuk menggantung. Tingkat kelima, adalah
ketentuan melalui objektifikasi (al Qadar al Aini) yang terdiri atas
bentuk-bentuk yang ada dalam dunia fisik. Mulla Shadra menganggap tingkat
terakhir ini berada di bawah tingkat pengetahuan Illahi langsung karena
menandai percampuran antara bentuk-bentuk dan materi”[8].
2.4 Surat al-ikhlas ayat 4 (empat)
ولم يكن له
كفوا احد
Tidak ada suatupun yang
sebanding denganNya. Tiada mahluk kecuali bermula dan berakhir. Tiada mahluk
kecuali dibatasi oleh selain dirinya, realitas eksternalnya. Batas terang adalah gelap dan
gelap dibatasi terang. Kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan orang lain dan
begitulan seterusnya. Empat criteria ketuhanan versi Solahuddin
Sekarnawadi kiranya cukuplah mewakili sifat Tuhan yang
20 versi Sunni dan yang
99 versi Salafi. “Pertama, as shabiq artinya terdahulu. Kedua,
al ithlaq artinya tidak terbatas dan tidak ada yang membatasiNya. Ketiga,
as sarmadiyah artinya tidak memiliki ujung atau akhir tetapi Dia kekal abadi
dan tidak bersandar pada ruang dan waktu. Dan yang kelima, adz zatiyah
artinya berdiri sendiri”[9]. Adanya keriteria ketuhanan
memungkinkan manusia berjuang untuk mencapai hirarki disisiNya
atau melebur dengan Tuhan sendiri. Tetapi bukan untuk menjadi Tuhan. Ingat
bahwa sifat terbaik manusia adalah bersifat dengan sifat ketuhanan. Tetapi bukan pada
sifat-sifat yang khusus untuk Tuhan sendiri.
3. Konsep Tuhan secara ontology
Tuhan secara ontology adalah Tuhan
secara hakikat. Tuhan yang transenden pada diriNya dan dari mahlukNya. Dia tanpa atribut, tanpa kualitas, seperti sifat dan nama. Dia tidak
lagi bersandar pada apapun selain diriNya (zat). Sehingga Tuhan secara ontologi
mustahil secara mutlak untuk dikenal mahluk.
Dia tidak dapat dikonsepsikan. Dia hanya mengenal diriNya sendiri. Ibnu ‘Arobi
menuyebut sebuah hadis qudsi sebagai landasan sebuah konsep. Dan dalil ini
dapat menjadi acuan bagaimana Tuhan sebelum kebijakanNya mencipatakan alam, Dia
hanya dikenal diriNya sendiri. “Aku
adalah harta simpanan tersembunyi, karena itu aku rindu untuk dikenal.Maka aku
ciptakan mahluk, sehingga melalui-Ku mereka mengenali-Ku”[10].
Seorang dari
latar belakang kepercayaan apapun yang memanggil Tuhan, atau berdo’a “wahai zat
yang maha tinggi, wahai pencipta langit dan bumi”. Disini berarti ia sedang
memanggil Tuhan secara ontologi. Tuhan yang tepat yaitu pencipta langit dan
bumi yang tidak dapat dikenal seperti yang disebutkan hadis qudsi di atas. Konsep piramida kepercayaan ini atau konsep Tuhan
secara esoteris atau ontologis, keluar dari Tuhan secara epistemologi atau Tuhan
secara syari’at. Seperti keadaan yang dipaparkan masing-masing Agama
(eksoteris). (Untuk lebih jelasnya uraian tentang konsep esoteris dan eksoteris
ini, pembaca dapat membaca uraian penulis tentang “konsep wahdat al adyaan” di "http://hfzsulaiman.blogspot.com/2014/10/konsep-wahdat-al-adyaan.html".
4.
Konsep Tuhan secara epistemology
Tuhan secara epistemology adalah Tuhan
yang dapat dikonsepsikan, yang dapat diberi atribut-atribut
ketuhanan seperti sifat dan nama. Ada tempat dimana konsep Tuhan epistemology
bersandar. Seperti firmannya dalam hadis qudsi di atas, dimana Dia ingin dikenal, dikonsepsikan bahkan difikirkan. Jadi
disini Tuhan menyesuaikan diriNya agar dapat dikenal. Untuk lebih memberikan
gambaran lebih jelasnya, berikut paparan dari Prof Dr. Mulyadi Kertanegara melalui via facebook.
Judul : Kontroversi seputar ungkapan Tuhan telah
membusuk.
“Nietsche: Tuhan telah mati, (God is Dead.)
Bagi kita yang masih waras dan percaya pada Tuhan,
mana mungkin Tuhan sejati kita akan mati atau bahkan membusuk. Yang lain boleh
mati dan membusuk, tapi Dia sang Pencipta alam semesta tidak boleh mati. Tapi kalau
kita tilik lebih dalam lagi, barangkali Tuhan yang dimaksud di sini adalah
Tuhan sebagai konsep. Saya pernah membedakan antara Tuhan ontologis dan
epistemologis. Secara ontologis, kata ini merujuk pada Tuhan yang sebenarnya,
Tuhan pencipta alam dan manusia. Ini adalah Tuhan yang abadi, yang tidak akan
pernah mati apa lagi membusuk. Tapi Tuhan secara epistemologis adalah Tuhan
dalam bentuk konsep, yakni Tuhan yang kita konsepsikan. Nah Tuhan inilah yang
bisa mengalami perubahan dan beragam, yang boleh benar dan boleh keliru. Tuhan
yang seperti inilah yang bisa hidup dan bisa mati, bisa terus subur ataupun
layu, yang bisa segar terus atau bisa juga membusuk. Tuhan yang seperti inilah
yang dikatakan oleh Nietsche telah mati dalam diri dan kehidupannya. Ketika
kita tidak lagi merasakan kehadiran Tuhan dalam hati kita, ketika kita tak lagi
peduli akan perintah dan larangan-Nya, ketika itulah kita bisa mengatakan bahwa
Tuhan telah mati dari hati dan hidup kita. Tapi Tuhan yang sejati, Tuhan
ontologis tak akan pernah mati, layu ataupun membusuk”[13].
PENUTUP
1.
Kesimpulan
ويسألونك عن الروح- قل الرح من أمر
ربي ومااوتيتم من العلم الا قليلا
Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS Al Isra : 85). Disini manusia tidak memiliki pengetahuan melainkan apa
yang telah diajarkan Tuhan kepada mereka. Bahkan manusia tidak mungkin memiliki
pengetahuan sendiri, yang bersumber dari dirinya sendiri. Lalu pengetahuan yang
dimiliki manusia itu adalah apa? Itu adalah pengetahuan milik Tuhan.
Pengetahuna pemberian Tuhan. Bahkan ketika manusia mengkaji dari alam realita
dan buku-buku karya manusia, tetapi ingat bahwa Tuhan mnegajarkan manusia,
menjadikan manusia penter, cerdas melalui perantaraan kalam, dan bukankah kalam
telah menulis segala sesuatu atas perintah Tuhan? Yang berarti seluruhnya yang
telah maupun yang belum diketahui manusia tercakup dalam pengetahuan Tuhan. juga
dalam mushaf atau lembararan-lembaran. Dimana telah dikatakan oleh Mulla Sadra sebagai
pengetahuan yang berada dibawah kendaliNya. Juga yang termasuk dalam bentuk
imajinasi dan realita material atau ayat-ayat Tuhan yang lebih dikenal dengan sebutan fenomena alam.
2. Saran
Jangan pernah mencukupkan
diri dengan apa yang telah ada. Jika anda melakukannya niscaya
kefakiran pengetahuan telah mendekati anda. Dan kami sebagai penyusun makalah
tidak mengharapkan kesamaan pendapat dengan anda, tetapi selalu berharap anda kontras. Bahkan kalau bisa, hancurkan
kami dengan argumentasi canggih anda. Bombardir kami dengan nuklir pemikiran anda. Wallahu taala ‘a’lam.
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Nietzsche
[3]
Istilah filsafat
[4]
Golongan, jenis, tingkat
[5]
Makalah filsafat Islam paca Ibnu Rusyd, ulasan pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul
[6]
Mencangkul di Yuanani, Dr. Dzofir Zohir, direktur STF Al-Farabi Malang
[11]
Suhrawardi tidak menyetujui
definisi secara universal. Misalnya kuda adalah hewan yang meringkik,
meringkik? Ada banyak hewan yang meringkik tetapi ia bukan kuda. Definisi ini
pasti tidak menjadikan orang yang tidak pernah melihat kuda tidak faham.
Jikapun ada definisi maka mesti ada rentetan kata yang lagi harus didefinisikan
sampai tidak habis-habisnya. Sehingga definisi itu tidak mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar