Sabtu, 18 Oktober 2014

Manusia Sebagai Mahluk Sosial Politik (Zoon Politikon)


A.    Pengertian Manusia dan Politik.
1)      Pengertian Manusia
Manusia tidak dapat didefinisikan dalam definisi yang baku, sebab manusia terdefinisikan sesuai ranah pembahasan tersebut akan dikupas. Jika suatu kajian tersebut bertemakan sosial politik, tentu definisi manusia berdasarkan sosial politik dan lainnya. Namun perlu kiranya penulis mencantumkan disini tinjauan dari makna manusia.

“Manusia dari segi biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai “Homo sapiens” yang berarti mahluk yang tahu, sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam Agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup, dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.”[1] Dari deskripsi definisi manusia di atas, kiranya kita bisa memahami manusia adalah mahluk yang kompleks dan tidak dapat ditinjau dari satu sisi saja. Aristoteles mendifinisikan manusia sebagai zoon politicon (binatang yang berpolitik). Dari sisi sosial manusia adalah mahluk sosial. Deskripsi ini setidaknya dapat menggambarakn kepada kita bahwa pengertian manusia itu tergantung pada ranah pengetahuan tertentu.

2)      Pengertian Politik
Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani, polis yang berarti kota atau Negarakota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti wargaNegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan Negara, politika yang berarti pemerintahan Negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Secara etimologi, kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.[2] Politik dalam deskripsi terminologi berarti sebuah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam sebuah Negara tertentu. “Dapat dikatakan pula bahwa politik adalah sebuah seni keterampilan dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.”[3] Untuk lebih membawa kita pada pemahaman yang spesifik mengenai politik, berikut penulis cantumkan sebuah kutipan yang cukup mewakili penjelasan dalam poin ini. Pertama;politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Kedua; politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara. Ketiga;politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Keempat; politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.[4] Dari beberapa poin gambaran di atas, kiranya dapat memberikan pemahaman yang cukup mengenai politik, bahwa inti dari semuanya adalah sebuah cara atau sistem untuk mengatur, cara untuk mencapai kekuasaan dan cara mempertahankannya.

B.     Manusia sebagai Zoon Politcon
Seorang filsuf Yunani klasik, aristoteles yang hidup dalam pada 384-322 SM dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politicon. Zoon berarti binatang dan politicon berarti pelaku politik. Dengan istilah ini aristoteles ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.[5] Juga merupakan sebuah politik, jadi segala hal yang berkaitan dengan proses mempengaruhi orang lain dalam pandangan Aristoteles adalah sebuah proses politik. Teori-teorinya ini tidak lepas dari pengaruh gurunya yang juga banyak mengembangkan berbegai ide brilian dalam hal politik. Dari berbagai pergulatan sosial-politik yang ia alami, mempengaruhi gagasannya dan menemukan sebuah teori ini. Dalam salah satu karya fenomenalnya, politics, Aristoteles menulis empat poin sebagai sebuah gagasan penting, pertama; manusia adalah mahluk rasional yang memiliki kehendak bebas, kedua; politik adalah ilmu praktis, ketiga; ada hukum moral universal yang harus dipatuhi semua manusia, keempat; dan Negara adalah institusi alamiah[6]. Lebih lanjut Aristoteles memaparkan, amnsuai sebagai mahluk rasional mengatur kehidupannya melalui sebuah kerjasama yang lancar antar manusia lainnya. dengan membentuk sebuah Negara melalui sebuah sistem yang kemudian disebuat sebagai politik. Jalan ini dikatakan sebagai jalan yang terbaik demi memenuhi setiap kebutuhan sosial manusia. Sebgai mahluk rasional, mansuia mampu memikirkan setiap tugas dan kewajibannya sebagai mahluk sosial dan politik, bagaimana menjadi warga Negara, menjadi pemimpin dan penjaga. Masing-masing memikirkan tugas dan kewajiban, sehingga foksi masing-masing terlaksana dengan tepat dan roda kehidupan sosial berjalan tertib. Manusia sebagai mahluk politik, bukan hanya menjalankan politik sebagai sebuah pengetahuan, namun yang terpenting dari ini adalah sebuah tindakan. Politik untuk bertindak, seorang penguasa memikirkan bagaimana menjadikan warga Negara menjadi baik, kesejahteraan tercapai. Sehingga bukan hanya sekedar penyempurnaan akal fikiran yang didapat melalui politik, namun hasil dari sebuah tindakan yang dijalankan dari sistem politik tersebut. Aristoteles dalam hal hukum, menekankan sebuah hukum universal untuk seluruh manusia, yang berarti ada hal yang telah menjadi hukum bersama yang kemudian disebut sebagai moral manusia. Moral manusia secara universal ini tetap ada dan bersifat naluriah-alamiah, secara otomatis manusia secara instingtif mengetahui bahwa ini baik dan ini buruk. Apalagi bagi masyarakat yang berperadaban, hukum universal ini mesti ada, yang mengatur masyarakat tersebut menjalani kehidupan sosial dan politiknya. Ada sejenis kesadaran universal yang membatasi setiap individu sebagai mahluk sosial. Kemudian Aristoteles dalam poin keempat, menjelaskan Negara sebagai institusi alamiah. Hal ini sangat berkaitan dengan sifat sosial manusia sebagai zoon politicon. Manusia membutuhkan orang lain dalam kehidupannya, manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupanya sendiri. Sehingga hal ini secara otomatis membutuhkan sebuah wadah organisasi kemasyarakatan atau institusi yang kemudian disebut sebagai Negara. Dimana Negara berfungsi sebagai wadah yang akan menampung aspirasi setiap anggota masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan sosial politiknya. Aristoteles menyebut hal ini sebagai watak manusia, kodrat manusia. Dimana manusia menuntut pemenuhan wataknya dalam hal material dan intelektual dan berujung pada kebahagiaan. Lebih-lebih untuk memenuhi watak intelektual, manusia tidak dapat memenuhinya tanpa melalui sebuah pengajaran ilmu pengetahuan. Dari proses intraksi sosial politik dan perkembangan pengetahuan kemudian lahir sebuah peradaban yang dapat menjadikan manusia memiliki derajat kehidupan yang layak. Aristoteles, menekankan pelacakan watak sebagai hal pokok bagi sebuah teori politik, sebab bagaimanapun juga tujuan sebuah Negara adalah untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga sangat penting bagi sebuah Negara untuk mengetahui tujusn ini, dan untuk mengetahui tujuan ini haruslah melalui mengetahui watak manusia. Dimana manusia memiliki watak yang tercermin dalam berbagai keinginan kehidupan sehari-harinya. Kehidupan sosial dan politiknya. Disini, terdapat sebuah pertemuan antara watak manusia dan watak Negara. Aristoteles mengkiaskan sebuah Negara dengan kehidupan komunitas atau keluarga tertentu yang memiliki watak hidupa bahagia, berkecukupan dan aman sentosa. Istilah berkecukupan mengimplikasikan sebuah sarana untuk mencapai tujuan Negara. Aristoteles menyebut keluarga sebagai asosiasi yang ada secara alamiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia. Karena manusia adalah mahluk sosial, insting sosial menjadi bagian semua manusia secara alamiah. Memerluka kebersamaan sosial dan politis dengan semua yang diimplikasikannya untuk memperoleh keuntungan, kesempatan pendidikan, pertumbuhan asketik, keilmuan, moral dan pengetahuan yang luas. Lebih tegasnya Aristoteles menekankan melalui sebuah ungkapan dalam buku politics-nya, “orang yang secara alamiah dan bukan hanya secara kebetualan semata tidak mempunyai Negara, adalah orang yang jahat atau tidak manusiawi[7].” Dan ini adalah sebuah indikasi dari pernyataan yang telah dengungkannya bahwa manusia adalah zoon politicon.
Untuk lebih luasnya, penulis mengajak pembaca untuk mengupas tema ini dengan pandangan  brilian dari para filsuf lainnya. yaitu Palto, seorang guru dari Aristoteles sendriri, dan dua filosof Muslim lainnya yaitu Al-Farabi dan Ibnu Khaldun.

1)      Plato 427-347 SM.
Penulis menarus Plato pada bagian kedua setelah Aristoteles, sebeb Aristoteles sendiri adalah pencetus teori zoon politico. Walau ide besar ini tidak lepas dari pengaruh sang gurunya yang juga banyak menelurkan konsep-konsep politik. Bahkan filsafat Aristoteles tanpa Plato, mungkin hanya khayalan. Plato adalah seorang filosof besar klasik yang merupakan filosof terbesar dan paling berpengaruh sepanjang abad klasik bahkan sampai hari ini.Plato memiliki gagasan dan konsep brilian dalam filsafat politik. Salah satunya adalah konsep “Negara ideal”[8] dan Negara organik, dimana Negara organik dikias bagaikan mahluk hidup yang berkembang dari kecil, dewasa dan mati. Begitu jugalah dengan sebuah Negara, sebuah peradaban. Menarik disimak pernyataan Plato berikut, “Negara, muncuk karena kebutuhan manusia; tidak ada orang yang bisa mencukupi dirinya, tetapi semu dari kita memiliki banyak keinginan…dan karena banyak orang yang dibutuhkan untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut, ada yang bertugas sebagai penolong atas yang lain, dan ketika para mitra penolong ini berkumpul dalam satu wilayah, maka kumpulan orang inilah yang disebut Negara.”[9] Sangat jelas dalam konsep dan pernyataan Plato diatas, bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki berbagai keinginan dan kebutuhan, dan hal tersebut direalisasikan secara lebih mudah melalui asosiasi politik. Setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan. Tugas mahluk politik yang bernama manusia mensiasati bagaimana menjadikannya sebagai sebuah bakat yang tertampung dalam Negara untuk mencapai tujuan bersama. Petani desa berperan aktif menghidupi orang kota melalui usaha pertaniannya, orang kota berperan aktif memproduksi alat-alat kebutuhan primer dan sekunder lainnya yang tidak dapat dipenuhi orang desa, ada prajuri sebagai penjaga keamanan dan para pemimpin mengayomi berbagai kehendak dan kebutuhan rakyat Negara. Keahlian-keahlian yang dimiliki individu yang berbeda ini dikatakan Plato sebagai sebuah keahlian alamiah, yang secara instingtif manusia akan menyalurkannya sebagai modal memenuhi watak Sosial manusia.Negara, dalam pandangan Plato bersifat alamiah yang muncul dari watak manusia, tentu pengaturan yang disebut sebagai politik juga alamiah. Yang secara sendirinya manusia membutuhkan sebuah asosiasi politik sebagai sistem pengaturan Negara. Lebih spesifik Plato menyebutkan, “kebaikan terbesar adalah ikatan kesatuan, persatuan politik, dan kejahatan terbesar pada masyarakat adalah perselisihan, kebingungan dan pluralitas.”[10] Konsepnya ini mendominasi seluruh gagasan Negara idealnya yang meliputi struktur kelas, pembagian kerja, komunisme bagi penguasa, sistem penddikan dan masyarakat yang benar-benar terencana. Plato dalam konsep politiknya, menekankan tujuan Negara sebagai pembentuk moral yang baik, memperoleh kebaikan dan kebahagiaan hidup, dan bukan hanya semata untuk hidup, sebab binatang-pun jika hanya untuk hidup mampu untuk membentuk Negara. Plato mempertanyakan tujuan utama membentuk Negara, dan memberi sebuah jawaban, yaitu untuk mencapai kebaikan bersama.Plato, sebagai seorang yang lahir dalam peradaban yunani. Dimana pergolakan politik dari waktu kewatu Plato saksikan. Namun positifnya fenomena social ini ia analisis sebagai sebuah watak manusia. Watak alamiah bawaan, menjadikan manusia sebagai mahluk satu-satunya yang mampu berfikir bagaimana menjadikan hidup baik dan bermoral. Manusia sebagai mahluk politik, memiliki watak berkuasa atau menguasai, walau dalam realitanya ada yang dikuasai. Namun kecendrungan tidak dapat dihindari, yaitu sebuah kehendak menguasai, kehendak lebih baik dari yang lainnya. kehendak-kehendak ini akan menjadi lobang kehancuran jika tidak diatur melalui sebuah sistem yang disebut sebagai politik.

2)      Al-Farabi 872-950 M
Al-Farabi dalam karyanya ‘ara’ ahl al-madinah al-fadhilah mengatakan bahwa “manusia adalah mahluk social yang mempunyai kecendrungan alami untuk bermasyarakat, karena tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain”[11]. Al-Farabi dalam banyak hal mengamini gagasan para filosof yunani klasik, utamanya dari Plato dan Aristoteles. Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk yang lahir dengan atribut sosialnya haruslah menghadapi realitas dirinya sebagai mahluk sosial. Saling ketergantungan antar sesame bahakan menjadikan manusia justru jauh lebih sempurna dengan kerjasama dalam berbagai hal. Termasuk dalam politik, membentuk Negara dan sepakat satu tujuan mencapai cita-cita bersama. Al-Farabi, sebagaimana halnya gagasan Plato, sepakat akan manusia dan kesosialannya bagaikan anggota badan. Apabila satu anggota badan menderita, yang lainnya akan ikut merasakan sakit.setiap anggota badan memiliki fungsi yang berbeda-beda, persis seperti masyarakat politik yang memiliki peran yang berbeda-beda pula dalam sebuah Negara. Dalam anggota badan akal dan hati memiliki peran terpenting, dalam sebuah Negara, peran filosof dan raja juga pital. Tidak heran kemudian Plato dalam gagasan filsafat politiknya menginginkan “raja-filosof, filosof-raja.”[12] Yaitu idealnya seorang raja haruslah dari kalangan filosof dan filosof sebaiknya menjadi raja dari pada non filosof. Palto beranggapan hanya raja-filosof atau filosof-rajalah yang mampu menciptakan keadilan dan kebijaksanaan. Palto mengibaratkan raja-filsuf sebagai seorang doketer yang akan mampu melihat, mendiagnosa pasien atau rakyat sehingga menjadi sehat sejahtera, membawa masyarakat menuju kemakmuran yang dicita-citakan. Hanya filosof yang mampu melihat kebijaksanaan itu.Al-Farabi dalam karya fenomenalnya ‘ara’ ahl al-madinah al-fadhilah banyak memaparkan manusia sebagai mahluk sosial dan politik. Penulis berpandangan bahwa kriterian Negara utama yang ditulis al-Farabi adalah berdasarkan kecerdasan penduduknya mengatur kehidupan sosial dan politik dan spiritualnya. Kemudian hal yang sama, Al-Farabi menulis kriteria Negara non-utama dengan empat kriteria, yaitu Negara bodoh, fasik, sesat dan Negara yang berubah haluan dari Negara utama[13].  Terlihat jelas kalau Al-Farabi mengelompokkan kriterian Negara utama dan bukan berdasarkan tingkat partisipasi sosial, politik dan kehidupan spiritualnya, utamanya memiliki tingkat intelektual yang tinggi, dimana kriteria-kriterian ini tidak lepas dari bahasan manusia sebagai zoon politicon gagasan Aristoteles.

3)      Ibnu Khaldun. Lahir 1 Ramadan 732 H/27 Mei 1332 M
Ibnu Khaldun dianggap sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial. Ia adalah sejarawan, hali politik, sosiolog, ahli fikih, hakim dan berbagai gelar lainnya. Agste Comte cium tangan kepada Ibnu Khaldun. Bagaimanapun juga, gagasan-gagasan seorang aguste comte yang digelari sebagai bapak sosiologi modern, telah lesu diungkapkan oleh Ibnu Khaldun jauh sebelum Aguste Comte.Ibnu Khaldun sebagai seorang sosiolog dan politikus, terlihat nyatadalam muqaddimahnya, menggambarkan manusia sebagai mahluk berfikir yang dengnnya menghasilkan ilmu pengetahuan; mahluk politik yang memerlukan pengendalian dan pengaturan oleh kekuasaan; mahluk ekonomi yang ingin mencari penghidupan dengan berbagai profesi; dan mahluk berperadaban[14]. Berdasarkan poin pemikiran tersebut, ibnu khaldun berkesimpulan bahwa organisasi kemasyarakatan adalah sebuah keharusan. Kodrat manusia tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendirian, membutuhkan partisipasi orang lain untuk membantunya. Makanan dari peran para petani, kain dan pakaian dari peran para penenun, keamanan dari peran penguasa dan para prajurit penjaga, dan berbagai sisi kehidupan social lainnya tak luput dari peran aktif masyarakat disekitarnya. Disini kemudian kehadiran sebuah pengorganisasian yang disebut Negara diperlukan, sebagai akomodasi dari sifat kebutuhan social manusia. Kemudian dari proses social yang baik tadi dapat melahirkan peradaban tinggi dan meningkatkan kesejahteraan social-politik dan intelektualitas-spiritula manusia.Lebih lanjut, ibnu khaldun melahirkan sebuah teori ‘ashabiyah(solidaritas kelompok), peran kelompok sosial atau dukungan kuat suatu kaum sangat penting dalam suksesnya sebuah misi politik.Ibnu khaldun menilai, kuat atau lemahnya sebuah dinasti politik tertentu, sangat bergantung pada ‘ashabiyah. Sebab ‘ashabiyah melahirkan persatuan dan pergaulan yang kuat diantara mereka. Lebih hebatnya lagi, Ibnu Khaldun memberikan pandangan yang berilian untuk sebuah kelanggengan kekuasaan tertentu. Dimana ‘ashabiyah ini haruslah digandengakan dengan Agama.  Agama diyakini Ibnu Khaldun sebagai penopang kuat sebuah kekuasaan. Jika ‘ashabiyah dipertentangkan dengan Agama, akan terjadi disintergrasi, bahkan menyebabkan Negara menjadi rapuh. Jadi dengan adanya ‘ashabiyah dan dengan ditopang oleg Agama yang kuat dalam keyakinan masyarakat Negara, merupakan sebuah perekat terbesar bagi persatuan dan ketahanan sebuah kekuasaan. Agama dapat menjadi faktor utama bertahan dan hancurnya sebuah kekuasaan, bahkan teori Ibnu Khaldun ini terbukti kemudian ketika dunia modern menyaksikan bagaimana Negara ateis-komunis Rusia hancur berantakan. Tentu saya bukan hanya agama satu-satunya menjadi faktor utama, namun tak dapat disangkal Negara yang tidak ditopang agama ini hancur karena ketiadaan peran strategis Agama dalam mengarahkan kekuasaan.

C.    Keberadaan Manusia sebagai Zoon Politicon
Jikakita melihat keberadaan manusia sebagai zoon politicon atau insan politik (bahasa Islam), manusia adalah elemen pokok yang melaksanakan aktifitas-aktifitas politik kenegaraan, baik sebagai aktor utama maupun sebagai obyek tujuan: Negara sebagai suatu organisasi merupakan suatu sistem politik menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan tertentu. Agar tujuan tersebut tercapai, setiap insan politik harus dapat menunjukan partisipasi dalam kegiatan yang berkaitan dengan warga negara pribadi yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan warga negara dalam bentuk partisipasi politik, antara lain:pertama; terbentuknya organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan kegiatan, dan sebgagi penyalur aspirasi rakyat untuk menentukan kebijaksanaan negara.Kedua; lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai kontrol masyarakat.Ketiga; pelaksanaan pemilu sebagai kesempatan warga negara untuk memakai hak miliknya.Keempat;Munculnya kelompok-kelompok kotemporer yang memberi warna dalam pemerintahan, protes misal unjuk rasa.Bentuk partisispasi politik bukan hanya melalui partai politik, tetapi juga dapat dilakukan melalui kelompok kepentingan dan kelompok penekan yang dapat memainkan peran untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah. Namun demikian, tidak semua orang berpartisipasi dalam kegiatan politik. Ada anggota masyarakat yang engan berhubungan dengan kegiatan politik dengan cara menarik diri atau tidak terlibat sama sekali dalam kegiatan politik dan memilih golput. Keengganan tersebut dapat dipengaruhi barbagai faktor seperti: kekecewaan dalam sistem politik, ketidaktahuan informasi, atau tiadanya pilihan politik yang sesuai dengan keinginan atau rasionya mebenarkan bahwa para pemimpin yang mencalonkan diri tidak cocok memimpin.

D.    Ciri Zoon Politicon
Zoon politicon, dalam bahasa Islam-nya disebut dengan insan politik adalah insan yang bertempat tinggal dalam sebuah wilayah tertentu dan aktivitas tertentu, kemudian bergelut dengan bagaimana cara-cara memperoleh kekuasaan, usaha-usaha mempertahankan kekuasaan, bagaimana menggunakan kekuasaan, wewenang dan bagaimana cara menghambat penggunaan kekuasaan, pengendalian kekuasaan dan sebagainya. Dengan kata lain insan politik adalah insan yang sadar akan pentingnya politik, sadar akan pentingnya sebuah proses politik sebagai warga  Negara. Dalam kaitannya dengan kegiatan masyarakat politik modern, khususnya dalam konteks Negara demokrasi, masyarakat politik dalpat dikenal melalui beberapa hal berikut ini, pertama; dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Kedua; bersifat kritis dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan:menerima sebagaimana adanya, menolak dengan alasan tertentu, diam tanpa memberiakn reaksi apa-apa.Ketiga; memiliki komitmen terhadap partai politik yang menjadi pilihannya.Keempat;Dalam penyelesaian masalah lebih suka menggunakan cara dialog atau musyawarah.[15]
 
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Manusia sebagai zoon politicon atau insan politik dalam bahasan Islam adalah sebuah keniscayaan bagi manusia untuk berpolitik, bersosial. Politik adalah sifat dasar manusia, sifat alamiah yang ada seiring dengan lahirnya manusia. Sebab manusia tidak lepas dari pengaturan, saling mempengaruhi dan yang terbesar adalah membentuk Negara sebagai wadah menampung kebutuhan naluriah manusia sebagai zoon politicon.

B.     Saran
Makalah ini hanyalah sekelumit deskripsi tentang manusia sebagai zoon politicon. Pembaca tidak dapat hanya mencukupkan diri pada makalah ini jika ingin mengetahui lebih jauh mengenai tema ini. Mencukupkan diri hanya dengan makalah ini, merupakan sebuah tindakan buruk, dan menutup diri dari bijaksananya pengetahuan. Dengan ini maka pembaca disarankan menekuni berbagai buku lainnya mengenai tema ini.
 

DAFTAR PUSTAKA
·        Muthahharri, Murtadh., Manusia dan alam semesta., Jakarta: lentera., 2002.
·        Suhelmi, ahmad., pemikiran politik barat., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama., 2001
·        Diane Revitch & Abigail Thernstrom.,Demokrai Klasik &Modern., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
·        Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution., Pemikiran Politik Islam., Jakarta: Kencana, 2010
·        Henry J. Schmandt., Filsafat Politik., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
·        http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia



[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
[2]http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
[3]Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6]Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005 ) h.  89.
[7] Ibid., hlm, 91.
[8] Suhelmi, ahmad, pemikiran politik barat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 35-42
[9]Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005 ) h. 61.
[10] Ibid., h, 63.
[11]Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution., Pemikiran Politik Islam., (Jakarta: Kencana, 2010)., h.  48.
[12]Suhelmi, ahmad., pemikiran politik barat., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 38
[13] Ibid., h, 14.
[14]Ibid., h. 10.
[15]http://id.wikipedia.org/wiki/Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://www.caraseoblogger.com/2013/11/cara-menambahkan-animasi-burung-twitter.html#ixzz3GY9CTcvx