A.
Pengertian Manusia dan Politik.
1)
Pengertian Manusia
Manusia
tidak dapat didefinisikan dalam definisi yang baku, sebab manusia
terdefinisikan sesuai ranah pembahasan tersebut akan dikupas. Jika suatu kajian
tersebut bertemakan sosial politik, tentu definisi manusia berdasarkan sosial
politik dan lainnya. Namun perlu kiranya penulis mencantumkan disini tinjauan
dari makna manusia.
“Manusia dari segi biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai “Homo sapiens” yang berarti mahluk yang tahu, sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam Agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup, dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.”[1] Dari deskripsi definisi manusia di atas, kiranya kita bisa memahami manusia adalah mahluk yang kompleks dan tidak dapat ditinjau dari satu sisi saja. Aristoteles mendifinisikan manusia sebagai zoon politicon (binatang yang berpolitik). Dari sisi sosial manusia adalah mahluk sosial. Deskripsi ini setidaknya dapat menggambarakn kepada kita bahwa pengertian manusia itu tergantung pada ranah pengetahuan tertentu.
“Manusia dari segi biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai “Homo sapiens” yang berarti mahluk yang tahu, sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalam Agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup, dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.”[1] Dari deskripsi definisi manusia di atas, kiranya kita bisa memahami manusia adalah mahluk yang kompleks dan tidak dapat ditinjau dari satu sisi saja. Aristoteles mendifinisikan manusia sebagai zoon politicon (binatang yang berpolitik). Dari sisi sosial manusia adalah mahluk sosial. Deskripsi ini setidaknya dapat menggambarakn kepada kita bahwa pengertian manusia itu tergantung pada ranah pengetahuan tertentu.
2)
Pengertian Politik
Secara
etimologis, politik berasal dari kata Yunani, polis yang berarti kota atau Negarakota.
Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti wargaNegara, politeia
yang berarti semua yang berhubungan dengan Negara, politika yang berarti
pemerintahan Negara dan
politikos yang berarti kewarganegaraan. Secara etimologi, kata "politik" masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Kata "politis" berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik.
Kata "politisi" berarti orang-orang yang menekuni hal politik.[2] Politik dalam
deskripsi terminologi berarti sebuah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam sebuah Negara
tertentu. “Dapat dikatakan pula bahwa politik adalah
sebuah seni keterampilan dan ilmu untuk meraih
kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.”[3] Untuk lebih
membawa kita pada pemahaman yang spesifik mengenai politik, berikut penulis
cantumkan sebuah kutipan yang cukup mewakili penjelasan dalam poin ini. Pertama;
“politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (teori klasik Aristoteles). Kedua; politik adalah hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara. Ketiga;politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Keempat; politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.”[4]
Dari beberapa poin gambaran di atas, kiranya dapat memberikan pemahaman yang
cukup mengenai politik, bahwa inti dari semuanya adalah sebuah cara atau sistem
untuk mengatur, cara untuk mencapai kekuasaan dan cara mempertahankannya.
B.
Manusia sebagai Zoon Politcon
Seorang filsuf Yunani klasik, aristoteles yang hidup dalam pada
384-322 SM dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik
melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politicon. Zoon
berarti binatang dan politicon berarti pelaku politik. Dengan istilah ini
aristoteles ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan
interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan
politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak
dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya
dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika
ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.[5]
Juga merupakan sebuah politik, jadi segala hal yang berkaitan dengan proses
mempengaruhi orang lain dalam pandangan Aristoteles adalah sebuah proses
politik. Teori-teorinya ini tidak lepas dari pengaruh gurunya yang juga banyak
mengembangkan berbegai ide brilian dalam hal politik. Dari berbagai pergulatan
sosial-politik yang ia alami, mempengaruhi gagasannya dan menemukan sebuah
teori ini. Dalam salah satu karya fenomenalnya, politics, Aristoteles menulis
empat poin sebagai sebuah gagasan penting, pertama; manusia adalah
mahluk rasional yang memiliki kehendak bebas, kedua; politik adalah ilmu
praktis, ketiga; ada hukum moral universal yang harus dipatuhi semua
manusia, keempat; dan Negara adalah institusi alamiah[6].
Lebih lanjut Aristoteles memaparkan, amnsuai sebagai mahluk rasional mengatur
kehidupannya melalui sebuah kerjasama yang lancar antar manusia lainnya. dengan
membentuk sebuah Negara melalui sebuah sistem yang kemudian disebuat sebagai politik.
Jalan ini dikatakan sebagai jalan yang terbaik demi memenuhi setiap kebutuhan
sosial manusia. Sebgai mahluk rasional, mansuia mampu memikirkan setiap tugas
dan kewajibannya sebagai mahluk sosial dan politik, bagaimana menjadi warga
Negara, menjadi pemimpin dan penjaga. Masing-masing memikirkan tugas dan
kewajiban, sehingga foksi masing-masing terlaksana dengan tepat dan roda
kehidupan sosial berjalan tertib. Manusia sebagai mahluk politik, bukan hanya
menjalankan politik sebagai sebuah pengetahuan, namun yang terpenting dari ini
adalah sebuah tindakan. Politik untuk bertindak, seorang penguasa memikirkan
bagaimana menjadikan warga Negara menjadi baik, kesejahteraan tercapai.
Sehingga bukan hanya sekedar penyempurnaan akal fikiran yang didapat melalui politik,
namun hasil dari sebuah tindakan yang dijalankan dari sistem politik tersebut.
Aristoteles dalam hal hukum, menekankan sebuah hukum universal untuk seluruh
manusia, yang berarti ada hal yang telah menjadi hukum bersama yang kemudian
disebut sebagai moral manusia. Moral manusia secara universal ini tetap ada dan
bersifat naluriah-alamiah, secara otomatis manusia secara instingtif mengetahui
bahwa ini baik dan ini buruk. Apalagi bagi masyarakat yang berperadaban, hukum
universal ini mesti ada, yang mengatur masyarakat tersebut menjalani kehidupan
sosial dan politiknya. Ada sejenis kesadaran universal yang membatasi setiap
individu sebagai mahluk sosial. Kemudian Aristoteles dalam poin keempat,
menjelaskan Negara sebagai institusi alamiah. Hal ini sangat berkaitan dengan
sifat sosial manusia sebagai zoon politicon. Manusia membutuhkan orang lain
dalam kehidupannya, manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupanya sendiri. Sehingga hal ini secara otomatis
membutuhkan sebuah wadah organisasi kemasyarakatan atau institusi yang kemudian
disebut sebagai Negara. Dimana Negara berfungsi sebagai wadah yang akan
menampung aspirasi setiap anggota masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan sosial
politiknya. Aristoteles menyebut hal ini sebagai watak manusia, kodrat manusia.
Dimana manusia menuntut pemenuhan wataknya dalam hal material dan intelektual
dan berujung pada kebahagiaan. Lebih-lebih untuk memenuhi watak intelektual,
manusia tidak dapat memenuhinya tanpa melalui sebuah pengajaran ilmu pengetahuan.
Dari proses intraksi sosial politik dan perkembangan pengetahuan kemudian lahir
sebuah peradaban yang dapat menjadikan manusia memiliki derajat kehidupan yang
layak. Aristoteles, menekankan pelacakan watak sebagai hal pokok bagi sebuah
teori politik, sebab bagaimanapun juga tujuan sebuah Negara adalah untuk
membantu manusia memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga sangat penting bagi
sebuah Negara untuk mengetahui tujusn ini, dan untuk mengetahui tujuan ini
haruslah melalui mengetahui watak manusia. Dimana manusia memiliki watak yang
tercermin dalam berbagai keinginan kehidupan sehari-harinya. Kehidupan sosial
dan politiknya. Disini, terdapat sebuah pertemuan antara watak manusia dan
watak Negara. Aristoteles mengkiaskan sebuah Negara dengan kehidupan komunitas
atau keluarga tertentu yang memiliki watak hidupa bahagia, berkecukupan dan
aman sentosa. Istilah berkecukupan mengimplikasikan sebuah sarana untuk
mencapai tujuan Negara. Aristoteles menyebut keluarga sebagai asosiasi yang ada
secara alamiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia. Karena manusia
adalah mahluk sosial, insting sosial menjadi bagian semua manusia secara
alamiah. Memerluka kebersamaan sosial dan politis dengan semua yang
diimplikasikannya untuk memperoleh keuntungan, kesempatan pendidikan,
pertumbuhan asketik, keilmuan, moral dan pengetahuan yang luas. Lebih tegasnya Aristoteles
menekankan melalui sebuah ungkapan dalam buku politics-nya, “orang yang secara
alamiah dan bukan hanya secara kebetualan semata tidak mempunyai Negara, adalah
orang yang jahat atau tidak manusiawi[7].”
Dan ini adalah sebuah indikasi dari pernyataan yang telah dengungkannya bahwa
manusia adalah zoon politicon.
Untuk lebih luasnya, penulis mengajak pembaca untuk mengupas tema
ini dengan pandangan brilian dari para
filsuf lainnya. yaitu Palto, seorang guru dari Aristoteles sendriri, dan dua
filosof Muslim lainnya yaitu Al-Farabi dan Ibnu Khaldun.
1)
Plato 427-347 SM.
Penulis
menarus Plato pada bagian kedua setelah Aristoteles, sebeb Aristoteles sendiri
adalah pencetus teori zoon politico. Walau ide besar ini tidak lepas dari
pengaruh sang gurunya yang juga banyak menelurkan konsep-konsep politik. Bahkan
filsafat Aristoteles tanpa Plato, mungkin hanya khayalan. Plato adalah seorang
filosof besar klasik yang merupakan filosof terbesar dan paling berpengaruh
sepanjang abad klasik bahkan sampai hari ini.Plato memiliki gagasan dan konsep
brilian dalam filsafat politik. Salah satunya adalah konsep “Negara ideal”[8]
dan Negara organik, dimana Negara organik dikias bagaikan mahluk hidup yang
berkembang dari kecil, dewasa dan mati. Begitu jugalah dengan sebuah Negara,
sebuah peradaban. Menarik disimak pernyataan Plato berikut, “Negara, muncuk
karena kebutuhan manusia; tidak ada orang yang bisa mencukupi dirinya, tetapi
semu dari kita memiliki banyak keinginan…dan karena banyak orang yang
dibutuhkan untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut, ada yang bertugas
sebagai penolong atas yang lain, dan ketika para mitra penolong ini berkumpul
dalam satu wilayah, maka kumpulan orang inilah yang disebut Negara.”[9]
Sangat jelas dalam konsep dan pernyataan Plato diatas, bahwa manusia adalah
mahluk yang memiliki berbagai keinginan dan kebutuhan, dan hal tersebut
direalisasikan secara lebih mudah melalui asosiasi politik. Setiap individu
memiliki kelebihan dan kekurangan. Tugas mahluk politik yang bernama manusia
mensiasati bagaimana menjadikannya sebagai sebuah bakat yang tertampung dalam
Negara untuk mencapai tujuan bersama. Petani desa berperan aktif menghidupi
orang kota melalui usaha pertaniannya, orang kota berperan aktif memproduksi
alat-alat kebutuhan primer dan sekunder lainnya yang tidak dapat dipenuhi orang
desa, ada prajuri sebagai penjaga keamanan dan para pemimpin mengayomi berbagai
kehendak dan kebutuhan rakyat Negara. Keahlian-keahlian yang dimiliki individu
yang berbeda ini dikatakan Plato sebagai sebuah keahlian alamiah, yang secara
instingtif manusia akan menyalurkannya sebagai modal memenuhi watak Sosial manusia.Negara,
dalam pandangan Plato bersifat alamiah yang muncul dari watak manusia, tentu
pengaturan yang disebut sebagai politik juga alamiah. Yang secara sendirinya
manusia membutuhkan sebuah asosiasi politik sebagai sistem pengaturan Negara. Lebih
spesifik Plato menyebutkan, “kebaikan terbesar adalah ikatan kesatuan,
persatuan politik, dan kejahatan terbesar pada masyarakat adalah perselisihan,
kebingungan dan pluralitas.”[10]
Konsepnya ini mendominasi seluruh gagasan Negara idealnya yang meliputi
struktur kelas, pembagian kerja, komunisme bagi penguasa, sistem penddikan dan
masyarakat yang benar-benar terencana. Plato dalam konsep politiknya,
menekankan tujuan Negara sebagai pembentuk moral yang baik, memperoleh kebaikan
dan kebahagiaan hidup, dan bukan hanya semata untuk hidup, sebab binatang-pun jika
hanya untuk hidup mampu untuk membentuk Negara. Plato mempertanyakan tujuan
utama membentuk Negara, dan memberi sebuah jawaban, yaitu untuk mencapai
kebaikan bersama.Plato, sebagai seorang yang lahir dalam peradaban yunani.
Dimana pergolakan politik dari waktu kewatu Plato saksikan. Namun positifnya
fenomena social ini ia analisis sebagai sebuah watak manusia. Watak alamiah
bawaan, menjadikan manusia sebagai mahluk satu-satunya yang mampu berfikir
bagaimana menjadikan hidup baik dan bermoral. Manusia sebagai mahluk politik,
memiliki watak berkuasa atau menguasai, walau dalam realitanya ada yang
dikuasai. Namun kecendrungan tidak dapat dihindari, yaitu sebuah kehendak
menguasai, kehendak lebih baik dari yang lainnya. kehendak-kehendak ini akan
menjadi lobang kehancuran jika tidak diatur melalui sebuah sistem yang disebut
sebagai politik.
2)
Al-Farabi 872-950 M
Al-Farabi
dalam karyanya ‘ara’ ahl al-madinah al-fadhilah mengatakan bahwa
“manusia adalah mahluk social yang mempunyai kecendrungan alami untuk
bermasyarakat, karena tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa
bantuan orang lain”[11].
Al-Farabi dalam banyak hal mengamini gagasan para filosof yunani klasik, utamanya
dari Plato dan Aristoteles. Al-Farabi menjelaskan bahwa manusia sebagai mahluk
yang lahir dengan atribut sosialnya haruslah menghadapi realitas dirinya
sebagai mahluk sosial. Saling ketergantungan antar sesame bahakan menjadikan
manusia justru jauh lebih sempurna dengan kerjasama dalam berbagai hal.
Termasuk dalam politik, membentuk Negara dan sepakat satu tujuan mencapai
cita-cita bersama. Al-Farabi, sebagaimana halnya gagasan Plato, sepakat akan
manusia dan kesosialannya bagaikan anggota badan. Apabila satu anggota badan
menderita, yang lainnya akan ikut merasakan sakit.setiap anggota badan memiliki
fungsi yang berbeda-beda, persis seperti masyarakat politik yang memiliki peran
yang berbeda-beda pula dalam sebuah Negara. Dalam anggota badan akal dan hati
memiliki peran terpenting, dalam sebuah Negara, peran filosof dan raja juga
pital. Tidak heran kemudian Plato dalam gagasan filsafat politiknya
menginginkan “raja-filosof, filosof-raja.”[12]
Yaitu idealnya seorang raja haruslah dari kalangan filosof dan filosof
sebaiknya menjadi raja dari pada non filosof. Palto beranggapan hanya
raja-filosof atau filosof-rajalah yang mampu menciptakan keadilan dan
kebijaksanaan. Palto mengibaratkan raja-filsuf sebagai seorang doketer yang
akan mampu melihat, mendiagnosa pasien atau rakyat sehingga menjadi sehat
sejahtera, membawa masyarakat menuju kemakmuran yang dicita-citakan. Hanya
filosof yang mampu melihat kebijaksanaan itu.Al-Farabi dalam karya fenomenalnya
‘ara’ ahl al-madinah al-fadhilah banyak memaparkan manusia sebagai
mahluk sosial dan politik. Penulis berpandangan bahwa kriterian Negara utama
yang ditulis al-Farabi adalah berdasarkan kecerdasan penduduknya mengatur
kehidupan sosial dan politik dan spiritualnya. Kemudian hal yang sama, Al-Farabi
menulis kriteria Negara non-utama dengan empat kriteria, yaitu Negara bodoh,
fasik, sesat dan Negara yang berubah haluan dari Negara utama[13]. Terlihat jelas kalau Al-Farabi mengelompokkan
kriterian Negara utama dan bukan berdasarkan tingkat partisipasi sosial,
politik dan kehidupan spiritualnya, utamanya memiliki tingkat intelektual yang
tinggi, dimana kriteria-kriterian ini tidak lepas dari bahasan manusia sebagai
zoon politicon gagasan Aristoteles.
3)
Ibnu Khaldun. Lahir 1 Ramadan 732 H/27 Mei 1332 M
Ibnu
Khaldun dianggap sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial. Ia adalah sejarawan,
hali politik, sosiolog, ahli fikih, hakim dan berbagai gelar lainnya. Agste
Comte cium tangan kepada Ibnu Khaldun. Bagaimanapun juga, gagasan-gagasan
seorang aguste comte yang digelari sebagai bapak sosiologi modern, telah lesu
diungkapkan oleh Ibnu Khaldun jauh sebelum Aguste Comte.Ibnu Khaldun sebagai
seorang sosiolog dan politikus, terlihat nyatadalam muqaddimahnya,
menggambarkan manusia sebagai mahluk berfikir yang dengnnya menghasilkan ilmu
pengetahuan; mahluk politik yang memerlukan pengendalian dan pengaturan oleh
kekuasaan; mahluk ekonomi yang ingin mencari penghidupan dengan berbagai
profesi; dan mahluk berperadaban[14].
Berdasarkan poin pemikiran tersebut, ibnu khaldun berkesimpulan bahwa
organisasi kemasyarakatan adalah sebuah keharusan. Kodrat manusia tidak dapat
memenuhi kebutuhannya sendirian, membutuhkan partisipasi orang lain untuk
membantunya. Makanan dari peran para petani, kain dan pakaian dari peran para
penenun, keamanan dari peran penguasa dan para prajurit penjaga, dan berbagai
sisi kehidupan social lainnya tak luput dari peran aktif masyarakat
disekitarnya. Disini kemudian kehadiran sebuah pengorganisasian yang disebut
Negara diperlukan, sebagai akomodasi dari sifat kebutuhan social manusia.
Kemudian dari proses social yang baik tadi dapat melahirkan peradaban tinggi
dan meningkatkan kesejahteraan social-politik dan intelektualitas-spiritula
manusia.Lebih lanjut, ibnu khaldun melahirkan sebuah teori ‘ashabiyah(solidaritas
kelompok), peran kelompok sosial atau dukungan kuat suatu kaum sangat penting
dalam suksesnya sebuah misi politik.Ibnu khaldun menilai, kuat atau lemahnya
sebuah dinasti politik tertentu, sangat bergantung pada ‘ashabiyah.
Sebab ‘ashabiyah melahirkan persatuan dan pergaulan yang kuat diantara
mereka. Lebih hebatnya lagi, Ibnu Khaldun memberikan pandangan yang berilian
untuk sebuah kelanggengan kekuasaan tertentu. Dimana ‘ashabiyah ini
haruslah digandengakan dengan Agama.
Agama diyakini Ibnu Khaldun sebagai penopang kuat sebuah kekuasaan. Jika
‘ashabiyah dipertentangkan dengan Agama, akan terjadi disintergrasi,
bahkan menyebabkan Negara menjadi rapuh. Jadi dengan adanya ‘ashabiyah dan
dengan ditopang oleg Agama yang kuat dalam keyakinan masyarakat Negara,
merupakan sebuah perekat terbesar bagi persatuan dan ketahanan sebuah
kekuasaan. Agama dapat menjadi faktor utama bertahan dan hancurnya sebuah
kekuasaan, bahkan teori Ibnu Khaldun ini terbukti kemudian ketika dunia modern
menyaksikan bagaimana Negara ateis-komunis Rusia hancur berantakan. Tentu saya
bukan hanya agama satu-satunya menjadi faktor utama, namun tak dapat disangkal
Negara yang tidak ditopang agama ini hancur karena ketiadaan peran strategis Agama
dalam mengarahkan kekuasaan.
C.
Keberadaan Manusia
sebagai Zoon Politicon
Jikakita melihat keberadaan manusia sebagai zoon
politicon atau insan politik (bahasa Islam), manusia adalah elemen pokok yang
melaksanakan aktifitas-aktifitas politik kenegaraan, baik sebagai aktor utama
maupun sebagai obyek tujuan: Negara sebagai suatu organisasi merupakan suatu
sistem politik menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan tertentu.
Agar tujuan tersebut tercapai, setiap insan politik harus dapat menunjukan
partisipasi dalam kegiatan yang berkaitan dengan warga negara pribadi yang
bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Hal
tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan warga negara dalam bentuk
partisipasi politik, antara lain:pertama; terbentuknya organisasi
politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan kegiatan, dan
sebgagi penyalur aspirasi rakyat untuk menentukan kebijaksanaan negara.Kedua;
lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai kontrol masyarakat.Ketiga; pelaksanaan
pemilu sebagai kesempatan warga negara untuk memakai hak miliknya.Keempat;Munculnya
kelompok-kelompok kotemporer yang memberi warna dalam pemerintahan, protes
misal unjuk rasa.Bentuk partisispasi politik bukan hanya melalui partai
politik, tetapi juga dapat dilakukan melalui kelompok kepentingan dan kelompok
penekan yang dapat memainkan peran untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.
Namun demikian, tidak semua orang berpartisipasi dalam kegiatan politik. Ada
anggota masyarakat yang engan berhubungan dengan kegiatan politik dengan cara
menarik diri atau tidak terlibat sama sekali dalam kegiatan politik dan memilih
golput. Keengganan tersebut dapat dipengaruhi barbagai faktor seperti:
kekecewaan dalam sistem politik, ketidaktahuan informasi, atau tiadanya pilihan
politik yang sesuai dengan keinginan atau rasionya mebenarkan bahwa para
pemimpin yang mencalonkan diri tidak cocok memimpin.
D.
Ciri Zoon
Politicon
Zoon politicon,
dalam bahasa Islam-nya disebut dengan insan politik adalah insan yang bertempat
tinggal dalam sebuah wilayah tertentu dan aktivitas tertentu, kemudian bergelut
dengan bagaimana cara-cara memperoleh kekuasaan, usaha-usaha mempertahankan
kekuasaan, bagaimana menggunakan kekuasaan, wewenang dan bagaimana cara
menghambat penggunaan kekuasaan, pengendalian kekuasaan dan sebagainya. Dengan
kata lain insan politik adalah insan yang sadar akan pentingnya politik, sadar
akan pentingnya sebuah proses politik sebagai warga Negara. Dalam kaitannya dengan kegiatan
masyarakat politik modern, khususnya dalam konteks Negara demokrasi, masyarakat
politik dalpat dikenal melalui beberapa hal berikut ini, pertama; dengan
sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Kedua;
bersifat kritis dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan:menerima
sebagaimana adanya, menolak dengan alasan tertentu, diam tanpa memberiakn
reaksi apa-apa.Ketiga; memiliki komitmen terhadap partai politik yang
menjadi pilihannya.Keempat;Dalam penyelesaian masalah lebih suka
menggunakan cara dialog atau musyawarah.[15]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia sebagai
zoon politicon atau insan politik dalam bahasan Islam adalah sebuah keniscayaan
bagi manusia untuk berpolitik, bersosial. Politik adalah sifat dasar manusia,
sifat alamiah yang ada seiring dengan lahirnya manusia. Sebab manusia tidak
lepas dari pengaturan, saling mempengaruhi dan yang terbesar adalah membentuk
Negara sebagai wadah menampung kebutuhan naluriah manusia sebagai zoon
politicon.
B.
Saran
Makalah ini
hanyalah sekelumit deskripsi tentang manusia sebagai zoon politicon. Pembaca
tidak dapat hanya mencukupkan diri pada makalah ini jika ingin mengetahui lebih
jauh mengenai tema ini. Mencukupkan diri hanya dengan makalah ini, merupakan
sebuah tindakan buruk, dan menutup diri dari bijaksananya pengetahuan. Dengan
ini maka pembaca disarankan menekuni berbagai buku lainnya mengenai tema ini.
DAFTAR PUSTAKA
·
Muthahharri, Murtadh., Manusia dan alam semesta., Jakarta:
lentera., 2002.
·
Suhelmi, ahmad., pemikiran politik barat., Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama., 2001
·
Diane Revitch & Abigail Thernstrom.,Demokrai Klasik &Modern.,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
·
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution., Pemikiran Politik
Islam., Jakarta: Kencana, 2010
·
Henry J. Schmandt., Filsafat Politik., Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
[2]http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
[3]Ibid.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]Henry
J. Schmandt, Filsafat Politik, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005 ) h. 89.
[7]
Ibid., hlm, 91.
[8] Suhelmi, ahmad, pemikiran politik barat,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 35-42
[9]Henry
J. Schmandt, Filsafat Politik, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005 ) h. 61.
[10]
Ibid., h, 63.
[11]Muhammad
Iqbal & Amin Husein Nasution., Pemikiran Politik Islam., (Jakarta: Kencana,
2010)., h. 48.
[12]Suhelmi,
ahmad., pemikiran politik barat., (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 38
[13]
Ibid., h, 14.
[14]Ibid.,
h. 10.
[15]http://id.wikipedia.org/wiki/Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar