Pagi buta, dengan diliputi rasa kantuk yang
menjahit mata. Mahasiswa 2013 di bangunkan dengan dengan ucapan manis Islam lagi kental.
Assalamu’alaikum, ucap bapak Pembina dan bapak Satpam sambil
mengetuk tiap pintu yang tertutup
rapat. Ucapan itu menuntut untuk dibalas, namun
sebagian mahasiswa terkadang tak mampu membalasnya. Bibir seakan nempel bagai kena lem alteco. Ada
rasa berdosa sebab kelalaian, setelah terbangun dan membalut muka dengan
kesucian air wudhu. Setan berlarian menghindar. Kebenaran memenangkan peperangan melawan
kebatilan. Kegelapan telah lari dan di waspadai kedatangannya
kembali. Kini saatnya mu’azzin mengumandangkan azan. Ia bertindak sebagai wakil
Tuhan dalam memanggil hamba untuk mi’raj menghadapNya. Mahasiswa khusyuk
menikamti suguhan spiritual Tuhan dan tenggelam dalam damainya keikhlasan.
Selesai sembahyang mahasiswa lagi-lagi bersama dalam satu tujuan. Memohon kasih
suci Tuhan demi kehidupan hambaNya. Terdenganr lantunan do’a yang membobol arasyNya, dengan keindahan suara yang di banggakan. Sampailah mahasiswa kepada inti
acara rutin. Menyanyikan dua buah lagu kebangsaan. Mahasiswa bngkit dengan
penuh semangat. Kaki menginjakkan tanah seakan menggetarkan bumi, tangan
mengepal seakan siap tempur, kepala meninggi bagai melihat Tuhan, badab tegak
bagai tiang listrik yang tidak akan tumbang kecuali jika tertabrak sepeda onta,
hati teguh dan lurus bagai Negara bergantung pada semangatnya selama bernyanyi.
Imajinasi kembali berhayal seandainya ia salah satu pahlawan bangsa. Akal
kembali tersadarkan realitas kalau dirinya lahir dalam masa yang berbeda. Merekapun sadar bahwa taqdir memintanya jatuh pada masa dan tempat yang terbaik.
Dengan tugas dan solusi yang berbeda walau tujuan tetap sama. Waktu boleh
berbeda, kini saatnya melihat kedepan bagaimana membangun bangsa, dengan
permulaan penanaman rasa nasionalisme yang tinggi kepada seluruh pemuda bangsa, dan hal ini
terimplementasikan distiap pagi oleh mahsiswa STFI Sadra 2013.
Acara ini seharusnya menjadi agenda yang di
tekankan di seluruh penjuru Negri, bukan hanya kewajiban pemerintah, namun
kepad setiap individu yang memiliki pemeikiran cerdas bagaimana mewujudkannya,
mahasiswa STFI Sadra telah memberi contoh real. Namun sebuah pertanyaan
terintas dari fikiran jernih penduduk bangsa, apakah didikan ini mampu
menunjukkan eksistensinya dalam dalam pendidikan pemuda bangsa ? sebagian
berfikir tentu akan membuahkan hasi cemerlang. Didikan yang baik tentu membuahkan hasil yang baik dan sebaliknya.
Kaidah ini berlaku secara umum dan masyhur serta begitulah
hasil secara kebiasaan. Kebiasaan belum tentu sukses berkelanjutan dengan hasil
yang di cari. Jika kita melihat problematika bangsa ini. Tidak disangkal
beberapa wilayah bagian NKRI telah terjadi berbagai keinginan sepihak. Ada yang
ngotot ingin merdeka, dan menghasilkan otonomi daerah, namun yang snagat
disayangkan ada daerah yang sampai lepas dan merdeka, sebuah tragedi yang
paling memilukan disetiap benak penduduk Negri yang merindukan persatuan dan
yang memiliki jiwa nasionalisme yang dalam. Siapakah yang salah, pemerintah
yang kurang tegaskah ? atau setiap penduduk bangsakah ? namun bukankah
pemerintah bersasal dari para pemuda didikan bnagsa sendiri ? tentu jawabannya
iya. Masih terdapat sebuah pertanyaan agung dalam pencarian solusi tepat.
Apakah yang salah dalam didikan anak Negri ? atau didikan tersebut masih sangat
kurang dan belum merasuki jiwa. Nasehat-nasehat nasionalisme dari para punggawa
nasional yang di ungkapkan melalui bibir mulia para Kiyai, pesan dari media
cetak dan elekraonik bahkan yang tersebar keseluruh penjuru dengan lagu-lagu
nasional. Masing masing memberikan kontribusi besar dalam pesan moral
kebangsaan.
STFI Sadra dengan cita-cita sebagai kampus
percontohan Indonesia mengawali program penanaman jiwa nasionalisme yang kental
kepada para mahasiswanya, khususnya angkatan 2013 putra. Mereka berada dalam
binaan Pak Suprihatin dengan didampingi Pak Kusni menjalankan tugas keasaramaan
yang diamanatkan kampus kepadanya. Melihat fenomena bukan hanya fenomena besar
dalam sebuah Negara dan mancan Negara. Namun fenomena sekecil apapun ia,
dimanapun tempat keberadaannya,
sudah selayaknya kita cermati sembari mencari jalan
keluarnya. Bahkan kampus jika di didifiinisikan secara structural bermakna komunitas
Negara terkecil. Mahasiswa sebagai rakyat kampus tidak lepas dari sorotan fenomena.
Hasil didikan karakter jiwa, keadaan social dan perkembangan pemikiran.
Ada hal menarik yang perlu kita soroti bagimana mahasiswa yang masih dalam
gemblengan, masih memiliki kearifan dan sifat kritis yang tinggi melanggar
pesan-pesan kebangsaan yang diucapkan disetiap pagi jernih. Mungkinkah
pengahayatannya masih sangat kurang, atau memang karakter mahasiswa
belum bisa tersentuh. Dua lagu kebangsaan “Indonesia raya” dan “bertingkah laku halus hai
putra Negri” memilki pesan nasionalisme yang mendalam.
Lagu kebangsaan Indonesia raya menyimpan pesan mencintai Bengsa dan Negara dengan segenap jiwa raga dan
pengorbanan lainnya. Pesan membela Bangsa dan Negara bukan hanya sekedar doktrin bangsa, ini bahkan pesan setiap agama, khususnya Islam. Islam banyak menyebutkan keharusan
membela Negara. Dalam implementasi yang
yang di contohkan baginda Nabi besar Muhammad SAW. Dimana beliau dalam
Negara Madinah demi menciptakan keadaan yang aman antar sesame penduduk Madinah
diadakan perjanjian Madinah yang terkenal dengan nama piagam Madiah. Isi piagam
ini sampai sekarang masih sangat terkenal sebagai salah satu bukti otentik
adanya Negara Islam yang mengharuskan penduduknya membela Negara
tersebut dari ancaman luar. Lagu kebangsaan berjudul “bertingkah laku
halus hai putra Negri”, lengkapnya berbunyi “bangun pemdi pemuda
Indonesia, lengan bajumu sinsingkan untuk Negara, masa yang akan
datang kewajibanmulah, menjadi tanggunganmu terhadap nusa2x. Sudi tetap
berusaha, jujur dan ikhlas, tak usah banyak bicara, terus kerja
keras, hati teguh dan lurus, fikir tetap jernih, menjadi tanggunganmu
terhadap nusa2x.”Pesan moral nasionalisme tertera jelas dalam bait-bait lagu
ini, memulai dengan pesan estafet perjuangan bangsa akan secara otomatis jatuh kepada
putra-putri Bangsa dari para pemuda menggantikan para tetua. Bagaimanapun juga
tidak dapat disangkal bahwa generasi ummat Manusia hidup secara bergiliran. Dahulu
para tetua Bangsa hidup muda dan berjuang mempersiapkan diri menjadi pengganti
tetua sebelumnaya. Dan kini mereka saatnya akan tergantikan oleh para pemuda
calon pemegang amanat Bangsa. Sebagaimana yang dilakukan para tetuan sebelum
memegang amanat selayaknya pemuda hari ini melakukan hal yang sama bahkan lebih,
sebab amanat hari ini jauh lebih berat seiring dengan tantangan zaman yang
berbeda. Pemuda Bangsa Indonesia selayaknya memegang teguh jargon dari bait
lagu tersebut, “tak usah banyak bicara, terus kerja keras” Negri ini dengan
jutaan problematika yang menanti seperi kesenjangan ekonomi dan kemiskinan,
pemukiman kumuh, rendahnya tingkat pendidikan, kesenjangan social dan keterbelakangan.
Semua itu butuh kerja ekstra keras dalam mewujudkannya, tidak akan selesai
hanya dengan banyak bicara, diskusi dan perdebatan yang tercermin dalam acara
televise dan radio. Jika hanya sekedar berbicara hanya akan menambah maslah
bangsa. Sayogyanga setiap ada masalah ada solusi cerdas menanti dari para
pembesar dan para pemikir bangsa ini hingga tidak terkesan main-main dalam
pergulatan tanggung jawab. “sudi tetap berusaha, jujur dan ikhlas”,kejujuran
dan keikhlasan merupakan dasar utama dari sebuah perjuangan dagi para pemegang
amanat dan kepada setiap individu penduduk bangsan dalam menjalani hidupnaya.
Bukankah setiap insan memeiliki amanat tersendiri dari Tuhan yang Maha Esa.
Bagi yang belum memeilki sifat jujur dan ikhlas sudi tetap berusaha untuk
memelikinya sebagaimana anda berusaha meraih harta yang dengan mudah didapat
ketika diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar