A.
Sekapur Sirih
Proses menjadi bisa merupakan jalan yang harus di lalui
setiap pelajar. Setip orang dapat berusaha melakukan jalan apa saja menuju sukses,
menjadi guru, menjadi seorang ilmuan. Untuk mengethui, seorang dapat
mempelajari berbagai bidang ilmu pengetahuan, mulai dari seni budaya, filsafat,
antropologi geometri
dan lainnya. Belajar dimana saja, kapan saja dan buku apa
saja. Seluruh ranah keilmuan yang ingn kita pelajari telah tersedia di abad
kontemporer ini, bersama para guru besar yang menjamur di seluruh penjuru
dunia. Dengan kemajuan teknologi dan sains yang pesat, semua imformasi dan
kebutuhan ilmu pengetahuan sangat mudah di dapat. Dengan sarana prasarana yang
serba mendukung tersebut, memiliki dapak positif bagi kemajuan peradaban suatu
bangsa. Namun selain dampak positif tersebut, berserakan juga dampak-dampak
yang tidak di inginkan.
Dengan kemajuan yang berdampak pada kemudahan kerja,
ternyata justru banyak memberikan kemalasan berkarya. Kemalasan berfikir dan
menghasilkan karya orisinal. Padahal karya orisinal sangat di tunggu dan di
patut di hargai sebagai sebuah karya yang membangun peradaban intelektualitas.
Jika saja para dosen melakukan plagiarisme, lalu apalagi para pelajar dan
mahasiswa yang akan tidak melakukannya. Tindak palgiarisme harus sebisa mungkin
untuk di hindari demi kemajuan. Memang kita tidak dapat melakukan pencegahan
secara menyeluruh, namun kita dapat memulai berlatih agar bagaimana kita
sendiri dapat terjauh dari aksi plagiarism, sehingga nantinya ketika kita telah
mampu dan mandiri dalam berkarya, serta memiliki pandangan orisinal punya
komitmen yang cukup, tiap pribadi dapat melakukan pengajaran bagaimana berkarya
dan mengurangi maraknya tindak plagiarism.
Cara terbaik menyelesaikan skandal ini hanya melalui
pendidikan dan latihan berkarya, menulis orisinal walau pada awalnya karya
cendrung buruk dan susah untuk di fahami, namun selama itu adalah usaha sendiri,
tetap patut di apresiasi dan terus di beri pupuk semangat tanpa lelah. Para
cendikiawan, para sastrawan dan pendidik memiliki bagian terbesar dalam kasus
ini. Bagaimanapun juga tindakan plagiarism yang di pandang tak baik ini harus
di kurangi demi peradaban. Palgiarisme memang memperihatinkan, utamanya
di negri kita indonseia tercinta ini, jangankan pelajar SLTP dan SLTA, mahasiswa sampai para dosenpun tidak sedikit yang juga terjangkit dalam
tindak palgiarisme. Berbagai kabar pernah kita dengar dan tahu kalau fenomena
ini menjamur. Bukan hanya dalam negri, namun masih terjadi di negri adidaya
amerika serikat. Penulis memang masih merasa sedikit heran mengapa plagiarism
begitu laris bahkan di negri yang tingkat pendidikannya sudah tergolong tinggi,
jika plagiarism terjadi di Indonesia, utamanya di kota-kota kecil mungkin tidak
terlalu menyedihkan, sebab bagaimanapun juga tingkat pendidikan di Indonesia
masih belum tamat SD. Tapi bukan berarti kita membiarkan terus menerus dalam
keadaan seperti itu, setidaknya jika belum mampu melangkah, haruslah ada
komitmen yant kuat bagaimana menguranginya.
B. Pendalaman Tema
Terkait
Jika kita menyebut plagiarism sebagai sebuh budaya,
mungkin merupakan kekeliruan. Jika budaya di sebut sebagai sebuah “hasil
kreasi, ide gagasan, cipta, rasa dan karsa manusia”,munkin plagiarisme masuk
dalam sebuah budaya baru abad modern dan mungkin pula tidak, sebab sebuah
budaya dikatakan budaya dengan karakteristik tertentu, namun disini bukanlah
tempatnya untuk mengupasnya. Tapi karena plagiarisme di negri ini banyak yang
menyebutnya sebagai sebuah budaya buruk seperti halnya mencuri dan
korupsi.Sebuah budaya yang berkembang seiring dengan berkembangnya science di
iringi perkembangan teknologi yang pesat pula, perkembangan ilmu pengetahuan menyumbang
kemajuan pesatterhadap kemajuan dunia di seluruh lini kehidupan. Ha ini telah
mampu memberi manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia, tapi seluruh
kemudahan, sarana prasarana yang membantu manusia menuju kemakmuran hidup ini
justru banyak menenggelamkan manusia kepada budaya yang kurang menguntungkan
bagi persoalan tertentu, dan yang paling menarik di simak ternyata kemajuan
teknologi seakan menyumbang sebuah sarana menuju plagiarisme.
Jika seorang menyebut budaya, akan terlintas sebuah kearifan
dan sebuah hasil kreasi agung manusia, baik itu merupakan budaya warisan masa
klasik yang di wariskan secara turun temurun atau yang terlahir pada era
belakangan. Semua orang akan mengakui budaya sebagai sebuah icon yang berharga.
Namun tidak untuk yang satu ini, “budaya palgiarisme”, palgiarisme bukanlah
sebuah budaya yang baik untuk di praktekkan apalagi untuk di wariskan. Justru
jika budaya plagiarimse di wariskan, bukannya akan membuat masyarakat yang
mengembangkannya menjadi berkarakteristik kuat dan khas, justru akan bertambah
terbelakang tercela. Masyarakat ataupun pribadi dimana budaya plagiarisme
banyak di praktikkan, tidak di ragukan lagi akan jauh berbeda dengan mereka
yang menjauhi dan memandang plagiarism sebagai sebuah tindakan keliru. Sudah
tentu bagi yang menjauhi plagiarisme memiliki prospek[1]maju,
teguh dan menghasilkan banyak karya tulis orisinal. Kita bisa melihat ini pada
masa keemasan islam di era abad ke3-13 H. dimana ilmuan-ilmuan musliam banyak
memunculkan karya-karya gemilang dan tak ternilai. Bahkan karya-karya tersebut
masih bisa kita saksikan hingga saat ini. Dan tentu masih banyak karya-karya
tulis lainnya yang tidak sampai kepada kita, mungkin dengan berbagai sebab
seperti pembakaran buku oleh oknum pada masa tertentu seperti yang tertera
dalam sejarah yaitu penaklukkan dinasti abbasiyah oleh pasukan mongol.
Pada era tersebut belum ada teknologi seperti di zaman modern
yang akan memudahkan orang untuk menjiplak karya orang lain, dan hasilnya telah
kita saksikan dan tertera dalam keabadian sejarah. Hari ini kita telah menerima
warisan science yang begitu gemilang dan tersedia dimana saja dan dapat dengan
mudahnya kita akses secara online di internet. Seharusnaya kemajusan sarana
yang mempermudah akan membuat manusia semakin gencar dan bersemangat
menghasilkan karya orisinal. Namun realitas itu msaih banyak yang melenceng
tidak sesuai harapan.Menarik kita cermati bagaimana kasus-kasus plagiarism yang
menimpa para dosen bahkan yang telah tertempel di pundaknya sebutan “guru besar”,
mereka bukanlah sembarang orang, mereka adalah para dosen terpilih dan
mendapatkan kehormatan besar menjadi guru besar. mereka adalah para ahli di
bidangnya yang telah di anggap mampu dan cemerlang dalam karya-karyanya.
Merekalah yang selalu berteriak dan bahkan menberi contoh bagaimana berkarya
orisinal, tapi mereka toh terpeleset juga dalam jurang aib tersebut. Lalu
bagaimana jadinya jika para pemberi contoh justru mereka yang melakukannya.
Mungkin kita akan mencela jika mengetahui mahasiswa melakukan palgiarisme dalam
tugas-tugas kuliahnya namun, jika itu di lakukan oleh guru besar, kita patut
berduka. Sebab “peradaban juga ikut dirugikan karena tindak plagiarism[2]”.
Sebelum penulis mengupas tema ini, ada baiknya penulis
menyinggung sedikit tentang pengertian plagiarisme. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor 17 Tahun 2010 dikatakan:
"Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau
mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip
sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui
sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai[4]".Dalam
Kamus ilmiah popular dikatakan: “plagiat adalah tindakan penjiplakan hasil karya
orang lain dan dipublikasikan sebagai hasil karya sendiri”. Jadi plagiarisme
dapat diberikan tanda seperti di bawah ini:
1) Mengutip kataatau kalimat orang lain tanpa ada tanda kutip dan penyebutan
sumbernya.
2) Menggunakan gagasan, pandangan atau teori orang lain tanpa penyebutan
sumbernya.
3)
Menggunakan fakta (data,
informasi) milik orang lain tanpa penyebutan sumbernya.
4)
Mengakui tulisan orang
lain sebagai tulisan sendiri.
Seorang yang melakukan salah satu dari 5 (lima) ini,
apalagi semuanya, berhak diponis sebagai plagiator. Jika sang plagiator adalah
para mahasiswa, perlu mendapat perhatian serius bagaimana lebih membina menjadi
mahasiswa yang produktif berkarya. Dan jika ingin mengutip karya tertentu,
tentu harus mencantumkan sumber secara jelas. Penting di ingat singgungan
renald kasali dalam artikelnya “orang pintar plagiat” yang menyatakan: “saya
pernah di datangi beberapa orang dosen yang meminta izin menggunakan buku saya
untuk dijadikan diktat di kampusnya. Ia merasa dengan meminta izin sudah cukup
bertanggung jawab. Semua ini menunjukkan kampus-kampus perlu mengajarkan
kembali para pengajarnya tentang makna plagiat secara konprehensif”.Jika kita
analisis, meminta izin meemakai tidak cukup untuk tidak dikatakan plagiat, jadi
harus diikuti dengan penyebutan identitas sumber secara jelas, barulah terbebas
dari kata plagiarisme.
Ninok leksono, seorang rektor UMN dalam sebuah artikelnya
menyebutkan berbagai pelanggaran plagiarism juga terjadi di kalangan mahasiswa
AS, bahkan ketika di Tanya mereka mengelak dengan alasan halaman yang ia kutip
tidak mencantumkan imformasi tentang penulis. Dalam artikel itu juga disebutkan
“agar para mahasiswa menyebutkan identitas sumber yang ia kutip dengan
mengikuti tata cara pengutipan guna menghindari plagiarisme”.Seperti yang telah
di kupas, seseorang dikatakan plagiator jika tidak mengikuti tata cara
pengutipan, mempelajari dengan di ikuti latihan yang intensif, akan menumbuhkan
pribadi-pribadi produktif dan terhindar dari plagiarism. Semua orang berperan
bagaimana menjadikan negeri ini menjadi sebuah negri dengan peradaban yang
dapat di banggakan, dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan tingkat kreasi
yang produktif. Sebab masalah plagiarism telah menjadi fenomena
memperihatinkan, dan tentu semua puhak harus mengawal ketat tindak plagiarism
sebagaimana tindak kriminal dikawal ketat. “melonggarkan aturan plagiarism
hanya akan menciptakan insan males, yang hanya akan puas dengan karya yang
sudah terbit sebelumnya [6]”.
D. Plagiarisme;
menggadaikan kehormatan
Plagiarism merupakan tindakan memalukan, bagaimanapun
juga tindakan pengambil alihan karya orang lain kemudian di klaim sebagai milik
diri sendiri bukanlah tindakan yang bermoral. Akan lebih memalukan lagi jika
pelaku plagiarism adalah para guru besar, sangat mengherankan “justru di lakukan oleh para pendidik yang
seharusnya memberi contoh[7]”.
Seorang yang notabenenya telah memiliki tingkat strata sosial tinggi dalam
kehormatan dan pendidikan, bisa tercemar hanya karena ketahuan aksi
plagiarisme. Apa yang kurang dari para guru besar, apakah mereka terlalu sibuk
dan tidak sempat memperhatikan karya-karyanya? Atau malas berkarya, dan mungkin
juga kemampuan berkarya masih perlu di asah lagi, sebab “seorang sarjana bukan
berarti mampu menulis, faktanya banyak dosen yang mengambil program doctoral
kesulitan merajut pemikirannya menjadi tulisan yang baik[8]”.
Seorang mahasiswa akan sangat baik ketika memiliki
kemampuan berkarya yang bagus, bahkan jika mahasiswa telah terbiasa menulis
makalah dan segala macam tugas kulyahnya dengan karya orisinalnya sendiri,
tentu menjadi modal utama menjadi penulis handal, negri ini membutuhkan
putra-putri bangsa yang seperti itu. Jika kita memperthatikan beberapa kasus
plagiarism, justru banyak terjadi di kampus-kampus yang notabenenya sebagai
tempat pengkaderan para bibit unggul ilmuan Negara. Sehingga ketika telah
keluar, mereka bukannya sebagai para pendidik yang malas berkarya dan hanya
terus-terusan terjebak plagiarisme.
Orientasi hidup, dan menuntut ilmu pada khususnya adalah
mengetahui, dan mengetahui akan berujung pada kebahagiaan. Seseorang yang
banyak mengetahui mereka akan sadar dan pada akhirnya menemukan kebenaran yang
mengantarkannya kepada apa yang dicariya selama ini. Seuah ujung itulah yang
dicari, yaitu kebahagiaan. Sentilan ini ada kaitannya dengan motivasi menulis,
dikatakan seorang yang naru selesai menulis akan terasa fresh fikirang dan juga
anggota tubuh. Bahkan ketika seorang dalam keadaan sedang pusing apalagi sedang
dirundung masalah kemudian menuliskan menulisakan semua permasalahan yang ada,
serasa sangat fresh dan telah keluar dari masalah. Bahkan menulis dapat
berdampak positif pada kesehatan. Dari ulasan ini kiranya kita dapat termotivasi
untuk mencoba menulis dan menghindari plagiarisme, sebab menulis memiliki
banyak maknya dan dapat bermanfaat di pandanga dari sudut manapun. Seakan hanya
menhasilkan kebaikan dan kebaikan. Sedangkan tradisi plagiarisme hanya akan
melahirkan kebodohan, dalam sebuah artikel ilmiahnya, renald kasali
menyebutkan; “di inggris plagiarisme mengganggu kehormatan, bahkan lebih
buruknya lagi tradisi plagiarisme adalah sama dengan tradisi mencuri”. Di negri
ini telah kita saksika plagiarisme merambah memasuki dunisa akademisi sampai
para pejabat Negara. Namun dengan adanya pengawasan ketat terhadap plagiarisme,
semua akan ketahuan melalui kecanggihan teknologi. Sehingga para mahasiswa
harus berfikir seribu kali terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan tersebut.
Seorang guru besar UMN. Ninok leksono dalam sebua
artikelnya seakan menyebutkan plagiarisme sebagai sebuah tindakan yang tidak
beretika berpengarus besar terhadap etos kerja plaku. Jika telah mempengaruhi
etos kerja seorang, apalagi yang bersangkutan adalah para pejabat Negara,
telihat sangat merugikan Negara, merugikan peradaban. Jika peradaban ikut
dirugikan, apalagi kreatifitas individual yang tidak dirugikan. Kemampuan
kreasi akan mati karenanya. Menghasilkan kemalasan berfikir. Pada umumnya
tingkat kreasifitas berkarya di negri kita indonesi masih sangat rendah,
padahal dengan 245 jt penduduk pasti memiliki banyak ilmuan, dan menghasilkan
banyak karya ilmiah secara rasionya, namun jika kita melihat perbandingannya di
antara Negara-negara tetangga kita, “di tahun 2004, menurut laporan UNESCO,
jumlah publikasi ilmiah Indonesia hanya sekitar 0.012% dari total publikasi
ilmiah yang ada, jumlah ini setara dengan 522 buah karya ilmiah. Masih sangat
jauh jika dibandingkan dengan publikasi ilmiah yang dihasilkan oleh
negara-negara tetangga seperti Singapura (5781), Thailand (2397) dan Malaysia
(1438)[9]”. Mungkin kita tidak heran dengan
rendahnya tingkat kreativitas karya ilmiah di negri ini, kita juga tidak yakin
semua para dosen memiliki kemampuan berkarya. Buktinya bahkan para guru
besarpun terkena kasus plagiat. “Berikut beberapa nama yang terlibat tindak plagiarisme:Anggito
Abimanyu guru besar di UGM,Dr. Ipong S Azhar, Prof. Anak Agung Banyu Perwita,
Prof Dr. Isjoni Ishaq, Dr. Cecep Darmawan, Dr. B Lena Nuryanti, Dr. Ayi
Suherman, Dr. dr. Felix Kasim MKes dan Wakil Rektor II Unhas, Dr. dr. Wardihan
A Sinrang[10]”.
E. Solusi Cerdas
Bagaimana Menghindari Plagiarisme
“Berikut beberapa langkah usaha belajar agar dapat
menghasilkan kreativias dari membaca dan tentunya dapat terhindar dari jebakan
plagiarisme:
1)
Tentukan buku yang hendak
anda baca
2)
Sediakan beberapa kertas
kecil (seukuran saku) dan satukan dengan penjepit.
3) Tulis judul buku, pengarang, penerbit, tahun terbit, tempat terbit, jumlah
halaman pada kertas kecil paling depan
4) Sembari membaca buku, salin ide utama yang anda dapatkan pada kertas-kertas
kecil tersebut.
5) Setelah selesai membaca buku, anda fokus pada catatan anda
6) Ketika menulis artikel, maka jika ingin menyitir dari buku yang telah anda
baca, fokuslah pada kertas catatan.
7) Kembangkan kalimat anda sendiri dari catatan yang anda buat[11]”
Dalam artikel Purwani Istiana dan Purwoko di atas,
kita dapat menyimpulkan, sebagai pribadi haruslah rajin membaca, dan membaca
bukan hanya sekedar membaca, melainkan dengan aturan tertentu sehingga sang
pembaca dapat menuai hasil melalui pengembangan hasil bacaan tersebut. Tentu
saja dapat dituangkan menjadi sebuah artikel, karya ilmiah, opini dan berbagai
karya lainnya. Sebagai seorang pelajar, penulis sangat terkesan dengan ide,
gagasan dari artikel Purwani Istiana dan Purwoko. Sebab dapat memberi saya
motivasi yang berharga bagaimana langkah-langkah membaca yang dapat membawa
pembaca menjadi insan kreatif nantinya. Membaca adalah sebuah jalan cerdas
bagaimana mendapatkan pengetahuan mengisis memory kosong dalam otak manusia,
seorang tanpa banyak membaca, mustahil dapat memperkaya ilmu pengetahuannya.
Membaca bisa di katakana sebagai salah satu jalan menuju mengetahui, selain
mendengar, meraba dan berfikir tentang suatu objek. Membaca di iringi analisis,
mendengar diiringi analisis dan berfikir diiringi analisis akan menghasilkan
suatu yang tentunya baru. Sarana untuk
menjadi intellectual sudah tersedia, isstrumen epistemology yang ada pada tubuh
dan sarana eksternal seperti perpustakaan, perpustakaan digital dan sarana
internet sangat mendukung memperluas pengetahuan. Seakan hari ini sudah tidak
da alasan lagi untuk mengelak tidak
berpengetahuan.
Bimbingan sang guru sangat menentukan
bagaimana mendidik anak para pelajar menjadi mandiri dalam berkarya, sebab
dengan menjadikan pelajar menjadi pribadi yang percaya diri dan mandirilah yang
akan mengantarkan diri mereka tidak bergantung pada karya orang lain sebagai solusi
tugas-tugas kuliah. Jika hanya mengandalakn peringatan tanpa melatih dan mendidik, mungkin akan menjauhinya dalam
jangka waktu tertentu, namun jika telah ada kesempatan, apalagi sedang
terdesak, tentu akan terjebak juga, sebagaimana kata bijak yang mengatakan ““kejahatan itu bukan karna
semata-mata niat dari si pelaku, tapi karena adanya kesempatan[12]”. Dari sini kemudian penulis
dapat mengambil sebuah kesimpulan bagaimana menumbuhkan pribadi yang
berkarakter, terdidik, terbiasa dengan latihan dan rajin membaca akan menjadi
pribadi yang mandiri dan tidak terkena tindakan plagiarisme. Beberapa hal yang
juga dapat memungkinkan terjadinya plagiarisme, adalah karena kesibukan, dan
lainnya, “berikut beberapa rinciannya:
1)
Terbatasnya waktu untuk menyelesaikan sebuah karya ilmiah
yang menjadi beban tanggungjawabnya. Sehingga terdorong untuk copy-paste atas
karya orang lain.
2)
Rendahnya minat baca dan minat melakukan analisis
terhadap sumber referensi yang dimiliki.
3)
Kurangnya pemahaman tentang kapan dan bagaimana harus
melakukan kutipan.
4)
Kurangnya perhatian dari guru ataupun dosen terhadap
persoalan plagiarism[13]”.
Mengenai
rincian di atas, telah di jelaskan dengan panjang lebar dari awal makalah
hingga akhir, penulis rasa penjelasan
mengenai sebab musabbab seorang melakukan tindak plagiat telah cukup di
singgung.
F. KESIMPULAN
Plagiarisme sebagai sebuh budaya buruk hasil transformasi
kemajuan science dan teknologi canggih. Kemajuan science menguntungkan manusia
dan peradaban bumi, titunjang dengan kemajuan teknologi canggih dimana setiap
orang dapat mengakses imformasi setiap saat. Dari sini kemudia sebagian
kalangan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan berbagai tindakan yang tidak
seharusnya dilakukan, itulah plagiarism. Aksi plagiarism marak seiring kemajuan
teknologi yang seakan memberi ruang kepada setiap penggunanya “copy and paste”,
artinya disini kita dapat melihat terjadinya sebuah penyalahgunaan. Plagiarisme,
tidak lahir dahulu sebagaimana ilmu pengetahuan lahir, namun kita dapat
memprediksi kalau plagiarisme lahir bersamaan dengan kemudahaan imformatika.
Plagiat telah merajalela dikalangan akademisi dan pejabat. Kemudian banyak
kalangan menyebutnya sebagai sebuah kecurangan, pencurian intelektual, dan
penulis kemudian menyebutnya sebaga “budaya buruk era modern”. Sebab disini
penulis melihat plagiarism tidak lahir sebelum era modern. Dizaman klasik,
keemasan islam, apalagi di era yunani kuno. Kita sama sekali tidak mendapat
imformasi tentang perkara ini. Sehingga penulis cendrung menyimpulkan
plagiarism muncul di era modern. Aksi plagiarism bukanlah budaya yang baik,
plagiarism hayalah budaya buruk yang akan menyumbang kemerosotan peradaban dan
sama sekali tidak memiliki dampak positif terhadap perkembangan kreasi dan
produktivitas anak negri.
G. SARAN
Untuk lebih mendalami tentang budaya/tradisi plagiarisme,
pembaca jangan mencukupkan diri dengan makalah ini. Makalah ini hanyalah
sekelumit gambaran general[14],
dan tentu ada ulasan yang jauh lebih luas. Plagiarisem secara konprehensif
terlalu luas untuk diulas dalam lembaran-lembaran makalah ini. Sehingga demi
menunjang pengetahuan yang konprehensif pula, di haruskan bagi yang ingin
mendalaminya lebih menggeluti berbagai referensi dan menganalisis
fenomena-fenomena di bangsa ini yang akan memperkaya pengetahuan pembaca.
Bangsa ini membutuhkan para pemikir besar yang harus memenuhi negri ini dengan
karya-karya sehingga tercapai peradaban maju, jika bangsa ini memiliki banyak
ilmuan-ilmuan di berbagai bidang, mungkin akan sangat janggal jika tidak dapat
memajukan negri ini. Dengan menghindari aksi plagiarisme dan terus
berkarya,pembaca telah menyumbang sebagian peradaban kepada bangsa ini, jadi
inilah peluangpembaca sebagai putra putri bangsa.
DAFTAR FUSTAKA
Ninok leksono, dalam artikel “copy and paste” musuh
berfikir
Renald kasali, dalam artikel “orang pintar plagiat”.
[1] Pandangan ke depan
[2] Ninok leksono, dalam
artikel “copy and paste” musuh berfikir
[3] Pelaku plagiat
[4]http://lib.ugm.ac.id
[5]Mengubah kalimat orang lain ke dalam susunan kalimat
sendiri tanpa mengubah idenya
[6] Ninok leksono, dalam
artikel “copy and paste” musuh berfikir.
[7] Renald kasali, dalam
artikel “orang pintar plagiat”.
[8] Ibid.
[9]http://erywijaya.wordpress.com/2010/04/16
[10]http://m.okezone.com/read/2014/02/25/373/946214
[12]http://erywijaya.wordpress.com
[13]http://lib.ugm.ac.id
[14] Umum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar